Kamis, 22 Mei 2014

Rindu itu Membawaku Kembali


Saya, murid ekskul jurnalistik dan, murid Al Falah (dokpri)

            Niat untuk mempertemukan murid-murid saya di ekskul jurnalistik dan menulis Thariq Bin Ziyad, Pondok Hijau Permai, Bekasi dengan anak-anak pemulung, murid PKBM Al-Falah sudah terpendam sejak lama. Selain ingin mengenalkan mereka, anak-anak pemulung itu juga murid-murid saya di pelatihan menulis selama lebih dari setahun ini. Setelah beberapa kali niat itu tertunda akhirnya saya berhasil mewujudkannya. Alhamdulillah....
            Awalnya saya meminta pihak sekolah untuk membuatkan surat izin kepada orangtua agar perjalanan saya dan anak-anak mendapat restu. Pihak sekolah menyambut antusias ide saya dan segera membuatkan surat tersebut. Tetapi karena hari keberangkatan kami bertepatan dengan hari libur anak-anak kelas 1 – 5, maka tidak semua murid saya bisa ikut serta. Dari 19 orang hanya 10 saja yang hadir memenuhi janji pertemuan di sekolah sebelum berangkat ke Bantargebang.
            Niat sudah disetujui, hari sudah ditetapkan, dengan hanya sepuluh murid, saya pun tetap memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kamis, 22 Mei 2014 pagi itu kami pun berangkat dengan dua mobil menuju PKBM Al-Falah, Bantergebang, Bekasi. Sebagian anak ada di mobil saya, selebihnya bersama mobil jemputan sekolah. Dan, ada tiga orangtua murid yang berjanji akan menyusul untuk membawakan hadiah bingkisan. Saya senang sekali mendengarnya.
Selama di perjalanan, mobil saya yang memandu iring-iringan. Kami berangkat pukul 08.15 waktu Bekasi. Di sepanjang perjalanan anak-anak berbincang dan sesekali bertanya tentang tujuan kami ke sekolah tempat anak-anak pemulung itu.
            “Nanti kita di sana ngapain aja ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
            “Pertama, ibu akan mengenalkan kalian satu per satu,” jawab saya menunggu respon mereka.
            “Hah! Satu per satu harus ngomong ngenalin diri ya, Bu? Aaah... malu gak ya?” ujar yang lainnya.
            “Kenapa malu? Kalian harus memberi contoh yang baik kepada mereka. Tunjukkan sikap bersahabat agar mereka tak canggung,” begitu saya berujar.
            Keramaian di mobil saya akhirnya tak terasa membawa kami tiba di lokasi tepat pukul 09.10 WIB. Seperti biasa, setiap kali saya berkunjung ke sekolah ini, sambutan hangat dari pihak sekolah dan anak-anak menjadi pembuka yang menyenangkan. Tatapan rindu dari mata anak-anak itu sekilas tertangkap oleh saya. Ya, sudah lebih satu bulan saya tak mengunjungi mereka untuk berbagi ilmu menulis. Meskipun belum terwujud hingga saat ini karena ragam kendala, saya yakin mereka masih menyimpan obsesi agar mampu menulis cerita dengan baik supaya bisa dibukukan. Semoga suatu hari ini bisa terwujud. Aamiin.
Siap mengikuti sesi (dokpri)
            Setelah Pak Khoiruddin mengarahkan anak-anak untuk segera berkumpul, saya pun diberi kebebasan untuk memandu acara. Seperti biasa, salam pembuka dan sapaan hangat saya lontarkan untuk anak-anak hebat itu. Saya jelaskan bahwa kedatangan saya dan beberapa teman mereka dari Thariq Bin Ziyad adalah untuk menjalin silaturahmi. Pertemuan ini juga tidak sekadar berkenalan saja, tapi saya ingin membaurkan mereka dalam kegiatan pelatihan menulis. 
Saya dan murid-murid ekskul jurnalistik TBZ (dokpri)



Sekali lagi, saya menangkap kilatan bermakna pertanyaan di tatapan mata mereka. Saya hanya tersenyum dan membiarkan rasa penasaran itu membuncah agar ketika mereka tahu apa yang akan saya lakukan setelah sesi perkenalan menjadi pemicu semangatnya. Saya pun meminta kepada kesepuluh anak-anak saya dari Thariq untuk memperkenalkan diri. Ada yang dengan lantang dan penuh percaya diri memperkenalkan nama dan pengalamannya selama mengikuti kelas ekskul yang saya bimbing, ada juga yang malu-malu sampai lupa menyebutkan level kelasnya. Hahaha... namanya juga anak-anak, begitulah seninya.
Velda, Aloi, dan Sherina memperkenalkan diri (dokpri)
Sesi perkenalan dari murid-murid Al Falah

Sebaliknya setelah itu, anak-anak Al Falah saya minta juga untuk menyebutkan nama serta kelas mereka. Setelah selesai saya tak langsung melanjutkan ke sesi pelatihan menulis. Saya ingin menguji daya ingat anak-anak Al Falah terlebih dahulu.
“Nah, teman-teman kalian dari Thariq sudah memperkenalkan namanya. Ibu pengin tahu, siapakah yang bisa menyebutkan 10 nama dari mereka dengan benar?” tanya saya yang langsung disambut suara riuh dan bisik-bisik mereka.
“Ibu ada hadiah satu buku hasil karya beberapa dari teman kalian ini,” pancing saya lagi.
Yang dapat hadiah buku (dokpri)
Beberapa saat saya menunggu respon mereka, namun tak satu pun yang berani tunjuk tangan. Akhirnya saya mengurangi jumlah nama menjadi lima saja. Barulah ada yang berani menjawab. Dari 5 nama yang disebutkannya ternyata hanya 4 yang benar. Hadiah buku pun saya berikan kepadanya (aduh, saking ramainya saya lupa namanya).
Senang banget, melihat mereka bisa mendadak kompak (dokpri)
Sampailah pada acara inti dari pertemuan itu. Saya membagi semua anak menjadi tujuh kelompok. Sementara murid-murid ekskul saya masing—masing mengisi kelompok itu. Lima kelompok anak perempuan. Dua kelompok terdiri dari anak laki-laki saja. Saya bahagia sekali ketika mereka akhirnya bisa membaur dan duduk melingkar dalam kelompoknya masing-masing untuk selanjutnya mendengar pengarahan dari saya.
Hahaha, gaya Bu Guru itu gak nahan banget dah!:p  (dokpri)
Saya meminta mereka untuk menuliskan cerita dengan tema yang mereka tentukan sendiri. Cara menuliskannya adalah berantai hingga ceritanya selesai. Saya ingin membuat mereka semakin akrab dan saling berdiskusi. Murid-murid ekskul jurnalistik dan menulis yang lebih banyak mendapatkan ilmu menulis dari saya, saya minta untuk berbagi teknik menulisnya. Selama 45 menit saya melihat semangat kebersamaan dan kedekatan itu semakin tercipta. Terkadang ide untuk menyambung cerita muncul dari murid-murid Al Falah dan begitu sebaliknya. 
"Boleh pakai dialog kan, Bu?" (dokpri)
Lagi serius nih (dokpri)
Meskipun ada yang kesal dan malu-malu karena bingung tak punya ide untuk melanjutkan cerita yang sudah ditulis oleh teman sekelompoknya, namun karena dukungan teman lainnya mereka tetap berusaha dan tidak patah semangat. Apalagi di kelompok anak laki-laki, kelucuan dan keriuhan kerap terjadi. Saya sesekali melepas tawa melihat kelucuan mereka. Kelompok yang memilih menuliskan cerita tentang “Sampah” adalah anak-anak yang paling kocak dan menjadikan suasana pelatihan menjadi ramai oleh celoteh-celoteh lucu mereka.
Wakil kelompok penuliscerita terbaik yang dapat hadiah (dokpri)
Setelah waktu habis, saya pun mereview hasil tulisan mereka. Pertama yang saya bahas adalah kelompok yang menuliskan cerita berjudul “Secret Park”. Mulai dari ide, judul dan alur cerita yang mereka buat begitu menyatu. Padahal cerita itu hasil tulisan dan imajinasi enam orang anak. Saya meminta salah satu dari mereka untuk mewakili memberi kesan dan berbagi teknik menulis ceritanya. 
(dokpri)
Seperti apakah caranya? Chita (salah satu murid ekskul saya) menjelaskan bahwa sebelum menulis mereka ternyata sudah membagi terlebih dahulu bagian-bagian apa yang akan mereka kerjakan. Misalnya tamannya di mana, kapan kejadiannya, siapa nama tokoh utamanya, dan seterusnya. Luar biasa! Itu sebabnya tulisan kelompok merekalah yang mampu menyelesaikan hampir satu halaman folio dalam waktu 45 menit.
Setelah itu saya lanjutkan ke cerita dari kelompok anak laki-laki. Sebelum saya mengomentari, mereka sudah tertawa-tawa karena tahu bahwa kertas folio milik merekalah yang akan saya nilai.
“Hahaha... ini artinya kelompok sampah lebih jago bikin gambar atau ilustrasi,” ujar saya memberi apresiasi pada hasil kerja kelompok mereka. 
Hahahaha.... (dokpri)
Kelompok ini menulis cerita tentang sampah. Meskipun mereka tak sanggup lagi merangkai kata demi kata untuk menuntaskan ceritanya, mereka berusaha membuat gambar sebuah truk pengangkut sampah. Truk sampah itu mereka gambarkan seolah-olah berjalan-jalan mulai dari Bantargebang, Jakarta, Bandung, Jogja hingga kembali ke Bantargebang.
“Iya, Bu. Sampahnya pusing gak bisa nulis lagi!” seru salah satu dari mereka membuat yang lainnya tertawa lepas.
Dapat bingkisan cantik dari Mama Dhanti (dokpri)
Begitulah, akhirnya waktu juga yang kembali membatasi kebersamaan kami. Sebelum berpisah, murid ekskul saya membagi-bagikan bingkisan cantik sumbangan orangtua murid kepada anak-anak Al Falah. Saya berharap agar perkenalan, pertemuan dan kebersamaan mereka dalam berbagi ilmu menulis ini akan menjadi momen yang indah dan berkesan bagi mereka. Dan saya juga berharap agar kegiatan membaca dan menulis hendaknya menjadi bagian dari hari-hari mereka. Tetaplah semangat, anak-anakku! [Wyvera W.]


8 komentar:

  1. Keren banget kegiatannya mak. Anak2 diajak untuk mengenal dunia anak2 lain diluar mereka. Semoga bisa menghasilkan anak-anak yang punya empati & punya kemampuan untuk bersosialiasi dg berbagai latar belakang orang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, iya Mak, tujuan utamaku sejujurnya itu sih. Aku ingin mengenalkan kepada murid-muridku di Thariq bahwa teman-teman mereka di Al Falah meskipun terbatas oleh segala kondisi, mereka tetap bersemangat untuk menuntut ilmu dan tak pernah patah semangat untuk belajar menulis dengan baik.

      Hapus
  2. acaranya inspiratif banget, mak. Salam saya buat murid2 ya:))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, makasih, Mak. Nanti kusampaikan ya. :)

      Hapus
  3. Duuuhhh seru bangettt ya mba,... jadi pengen kapan2 ikut seseruan sm anak-anak itu mba :)

    BalasHapus
  4. seru ya mbak, aku juga kapan2 pingin lihat gmana serunya diantara mereka

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...