Foto welfie bersama anak-anak Lapas (dokpri) |
Welfie bersama anak-anak lapas? Pantaskah? Pantas saja, kenapa nggak?
Bukankah mereka
juga butuh sedikit kegembiraan untuk sejenak melepas rasa resah, terkungkung,
tertekan, kesepian, serta penyesalan yang membelenggu mereka di balik jeruji, akibat
perbuatan yang terlanjur mereka lakukan? Tak ada yang salah bukan?
Baidewei ... sebenarnya, tidak pernah terpikir oleh saya untuk menyajikan kisah
di balik gambar yang satu ini. Kalau bukan gara-gara membaca event di blog
Emak Winda Krisnadefa, takkan pernah foto ini terpajang di
blog saya.
Yap!
Betul. Event dengan judul “Lomba Selfie Story Bersama Smartfren Berhadiah Windows Phone” yang digelar
Emak Gaoel (begitu sebutan populernya), bikin saya tergugah untuk akhirnya ikut at the last minute waktu
lomba yang ditetapkan.
Inilah
kisah di balik sebuah foto yang saya pajang pada postingan kali ini.
Kalau
dilihat selintas, tidak ada kesan istimewa yang tertangkap di balik momen dalam
foto welfie bersama anak-anak Lapas Tangerang ini. Malah, cenderung
kesan seru-seruan saja. Yaaa, namanya juga foto welfie. Apa sih yang
pertama ingin ditampilkan kalau bukan momen seru?
Tapi,
percayalah ... sesungguhnya ada beberapa cerita yang mendahuluinya.
Saya
sudah beberapa kali berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Tangerang. Bukan
sekadar berkunjung dan berfoto-foto tujuan utama saya. Ada hal yang lebih penting
ingin saya bagi untuk mereka.
Profesi
saya adalah penulis. Walaupun mungkin ilmu menulis yang saya miliki tidaklah sehebat
dan sebanyak para penulis tenar lainnya, tapi saya merasa perlu membagi yang
sedikit itu. Ketika saya diberi tawaran oleh komunitas Gerakan Peduli Remaja (GPR)
yang sudah lebih dulu memiliki jadwal kunjungan tetap ke lapas anak pria ini, saya
spontan mengiyakan.
Sejak
itu, obsesi saya pun mencuat. Saya ingin anak-anak lapas itu juga mampu menulis.
Tapi, saya tidak memaksa mereka untuk kelak menjadi penulis seperti saya setelah
keluar dari penjara nanti. Saya hanya ingin mereka mau membagi kisah, keresahan,
keinginan, angan-angan, cita-cita, serta harapan yang mungkin belum sempat
terungkapkan dan lama terpendam di lubuk hati mereka.
Bersama
teman-teman GPR, saya pun ikut menyusun dan membagi jadwal. Mereka mengisi sesi
konsultasi (belajar mengaji dan sharing uneg-uneg), sementara saya
memberi materi dasar tentang menulis. Begitulah kami melakukannya secara
berkala. Hingga akhirnya anak-anak lapas itu berhasil menuliskan ceritanya.
Memang tidak semua yang mampu menuliskannya sesuai arahan yang saya berikan. Namun,
dari yang sedikit itu saja hati saya sudah bergetar membacanya.
Salah
satu dari mereka ada yang menuliskan, “Kalau aku bisa mengulang waktu, aku
tidak akan mau melakukan kejahatan ini. Kasihan orangtuaku, apalagi ibuku.
Pastilah sekarang hatinya hancur karena menahan malu punya anak seperti aku.”
Oh my God! Tidakkah hati ini terguncang membacanya? Ya, begitulah ... saya tak
bisa bohong kalau mata saya basah ketika menyelami kalimatnya itu.
Baiklah, kembali
dengan foto welfie yang menjadi tema postingan saya ini.
Setiap
mengisi pelatihan menulis untuk anak-anak lapas waktu itu, saya memang suka
meminta diambilkan foto pada teman-teman GPR. Bukan untuk gagah-gagahan ...
bukan. Foto-foto itu hanya untuk pelengkap catatan saya tentang kegiatan
berbagi pengalaman menulis di sana (beberapa di antaranya sudah tercatat di
blog saya ini). Beberapa foto yang diambil itu, tak satu pun yang bentuknya selfie
atau welfie, sebab momen diambil saat saya memberi materi.
Lalu,
mengapa tiba-tiba ada foto welfie seperti yang terpajang di postingan
ini?
Entah
kapan tepatnya, saya tiba-tiba ingin sekali punya tongsis. Melihat beberapa
teman yang memamerkan foto-foto selfie yang mereka ambil dengan bantuan tongsis, saya
jadi pengin juga. Jadilah saya membeli dan punya tongsis.
Nah, di
kunjungan ke lapas berikutnya, diam-diam saya bawa tongsis itu. Saya ingin berfoto
bersama anak-anak lapas dengan menggunakan smartphone dan tongsis. Pasti akan berbeda
kesannya, pikir saya waktu itu.
Betul
saja!
Begitu
tongkat narsis itu saya keluarkan, anak-anak lapas spontan melirik. Padahal
waktu itu sesi pelatihan sudah berakhir dan mereka bersiap untuk sholat zuhur.
Mungkin beberapa di antara mereka belum paham kegunaan tongsis itu untuk apa.
Tidak
menyia-nyiakan waktu, saya pun menyiapkan hape dan menyematkannya pada tongsis.
Saya mengajak anak-anak lapas mendekat agar bisa tertangkap oleh layar kamera smartphone saya. Tidak semua yang mau diajak berfoto secara terang-terangan seperti
itu. Namun, beberapa dari mereka (walau terkesan malu-malu), mau juga mendekat.
Kehebohan
pun terjadi sesaat dan itu lepas begitu saja. Mereka tersenyum, senang, dan
benar-benar merasakan keakraban bersama kami.
“Wah!
Bunda narsis juga ya ternyata!” celetuk salah satu dari mereka membuat wajah
saya sedikit berubah warna.
“Narsis
juga ya ternyata.”
Kalimat
spontan yang terucap itu membuat saya seolah tidak berjarak dengan mereka.
Bahagia sekali rasanya.
Inilah
kisah dibalik foto welfie saya bersama anak-anak lapas dan teman-teman
Gerakan Peduli Remaja. Semoga momen bahagia ini selalu membekas di hati mereka,
apalagi saya. Pasti itu. [Wylvera W.]
Ih kereeen! Emang mereka butuh hiburan juga ya, Mak. Aku salut sama dirimu. Sukses ya, Mak :)
BalasHapusIya, momen-momen seperti ini sangat mereka tunggu-tunggu.
HapusBtw, aamiin ... makasih ya, Mak. :)
Wah..mantaap deh, bisa berbagi dengan anak-anak di lapas. Mereka juga harus dipersiapkan lebih mandiri ketika keluar nanti ya Mak..
BalasHapusIya, Mak. Itulah tujuan teman-teman Gerakan Peduli Remaja yang digawangi Mbak Suci di sana. Aku hanya mengambil bagian terkecil dari kesempatan yang diberikan.
Hapus"kapan lagi bisa welfie sama ibu guru yang cantik" kata mereka wekekek
BalasHapusYap! Benar! #Eh *buru-buru elus pipi* Hahaha ....
HapusWahhh mbakbya aktivis lapas ya? Salam kenal ini punyaku.http://www.novawijaya.com/2015/04/selfie-story-in-beautiful-island.html
BalasHapusOh, bukaaan, aku bukan aktivis lapas, Mbak Nova. Hanya diajak utk mengisi sesi pelatihan menulis di sana sama Ketua Gerakan Peduli Remaja.
HapusSalam kenal kembali ya. Iya, aku mampir habis ini ya. :)
What a touch, Bunda!
BalasHapusAlhamdulillah, makasih, Mak Tanti. :)
Hapussharing is caring banget Mba Wiwiek, semoga sukses ya ikutan lombanya hehehe
BalasHapusAamiin, makasih, Mas Salman Faris. :)
HapusSenangnya mereka bisa belajar menulis, ya. Insya Allah ilmu yang dida[at dari Kak Wiek bisa mereka manfaatkan kelak. Aamiin.
BalasHapusAamiin, iya, Hay. Walau keciiil sekali porsinya, tapi mudah-mudahan mereka ingat ya.
HapusSemoga diantara mereka ada yang terinspirasi dan tergali bakat dan minat menulis ya mbak... terus jadi penulis sukses.. Bakal ada cerita hikmah yang bisa mereka bagi.. Tentu kita juga bisa belajar dari pengalaman mereka. Salut untuk aktivitasnya mbak Wy :)
BalasHapusAamiin, makasih doanya, Mbak Haya Nufus. :)
HapusKeren Mak, mengsinpirasi ceritanya. Sukses buat lombanya ya Mak :)
BalasHapusAlhamdulillah ... kalau momen welfie ini akhirnya bisa menginspirasi ya, Mak. Aamiin, makasih doanya. :)
Hapusmereka baru tau mbak wiwiek bisa narsis juga mungkin :)
BalasHapusHahahaha, baru tau ... padahal kan dari lahir ya, Mbak? (Jangan segan-segan kalau mau komen gitu ah) :p
HapusMereka jugak manusia biasa, mungkin saat itu pernah melakukan kesalahan.. Namun sekarang terbuka jalan.. :D
BalasHapusBetul, Mbak. Makasih ya. :)
HapusEvery body has a mistake. yang penting bagaimana kita dapat memperbaiki diri...
BalasHapusBetul, Mas. Apalagi mereka ini masih muda. Masih panjang kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Tks, sdh mampir ke sini ya.
HapusLapas? ga salah sih
BalasHapusperduli sama mereka itu keren!
salam kenal dari saya @guru5seni8
penulis di http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com dan www.kartunet.or.id
Iya, Mas. Kita sudah punya jadwal rutin ke sana.
HapusSalam kenal kembali.
Semoga mereka kelak akan menjai anak yang dibanggakan irangtuanya.aamiin
BalasHapusAamiin Ya Rabb. Makasih, Mas Wildan.
Hapuskenangan yang sangat membahagiakan
BalasHapus