Kamis, 2 April 2015 lalu, saya
mengajak murid-murid saya dari kelas ekstrakurikuler Jurnalistik dan Menulis
SDIT Thariq Bin Ziyad Pondok Hijau Permai Bekasi, untuk menonton film “Ada Surga
di Rumahmu”. Nonton bareng ini sebenarnya sudah sejak dua minggu sebelumnya kami rencanakan.
Saya mengajukan usulan nobar ini
kepada Ibu Kepala Sekolah. Tanpa saya duga, ternyata beliau juga
berniat ikut bersama kami. Saya yang diminta mengkoordinir pembelian tiket.
Tentu saja saya tidak keberatan. Saya malah senang karena anak-anak akan
semakin nyaman jika guru-guru mereka yang lainnya juga ikut mendampingi.
Dari rencana 20 guru yang akan ikut
nobar, akhirnya berkurang menjadi 10 orang. Banyak kendala yang menyebabkan semua
guru dan karyawan sekolah tidak bisa ikut. Sementara itu, nonton bareng ini
sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun dari kelas ekskul Jurnalistik dan Menulis yang saya gawangi. Anak-anak tidak hanya sekadar nobar, tapi setelahnya
mereka akan membuat catatan (review) dari film yang mereka tonton untuk
pengambilan nilai akhir.
Singkat cerita, tibalah hari “H”. Saya sudah
membeli tiket untuk 29 seat. Saya memilihkan jam tayang pada pukul 16.45 WIB di
bioskop XXI Bekasi Square. Kami berangkat 10 menit dari jam 4, sore itu. Ada
rasa khawatir. Saya takut anak-anak tidak akan sempat melihat filmnya dari awal.
Kalau terlambat, mereka pasti kecewa, karena tidak akan bisa menuliskan review lengkap seperti yang saya minta.
Apa boleh buat, akhirnya kami memang
sedikit terlambat. Film sudah dimulai sekitar 10 menit. Saya mencoba menenangkan
anak-anak. Kami pun masuk dengan tertib, disusul oleh beberapa guru yang sejak
tadi ikut bersama kami.
Apa yang saya khawatirkan pun terjadi.
Belum apa-apa, adegan film “Ada
Surga di Rumahmu” (ASDR) karya Aditya Gumay itu sudah mulai “mengganggu”
perasaan saya. Saat kami masuk, adegan sudah berpindah pada saat Ramadhan kecil
(diperankan oleh Raihan Khan) sedang berkelahi dengan temannya. Setelah
perkelahian itu, Ramadhan akhirnya dikirim oleh orangtuanya ke sebuah pesantren
milik Ustad Athar (diperankan oleh Ustad Ahmad Alhabsyi).
Sesaat sebelum Ramadhan berangkat menuju pesantren |
Pelepasan Ramadhan menuju pesantren
mulai memancing keharuan. Tidak hanya bagi saya, tapi juga murid-murid saya.
Terutama Nasywa dan Raisa Nazhifa, salah satu murid yang duduk di deretan
bangku sebelah kiri saya saat itu. Tarikan nafas mereka menjadi sinyal kalau
mereka mulai sibuk mengatur emosinya. Untunglah jilbab mereka terbuat dari
bahan katun, jadi nggak perlu repot mencari tisu.
Abuya (Ayah Ramadhan) mengantarkannya ke pesantren |
Kembali ke adegan berikutnya.
Dikirim ke pesantren, tidak lantas membuat Ramadhan berubah drastis. Ia tetap
menjadi anak laki-laki yang banyak akal dan terkesan pembangkang. Bahkan
Ramadhan sempat dihukum bersama dua orang sahabatnya. Mereka diminta untuk
berceramah di sebuah pemakaman pada malam hari. Adegan ketakutan yang
diperlihatkan membuat rasa haru berbaur kelucuan. Isi ceramah salah satu
sahabat Ramadhan memancing tawa penonton. Mau tahu isi ceramahnya apa? Nanti
ditonton saja ya.
Adegan menjalankan hukuman di area kuburan |
Ramadhan juga pernah dihukum dengan
cara berceramah di pasar. Bakat terampil berceramah di diri Ramadhan sangat
membantunya. Ia tidak terlalu sulit menjalankan hukuman itu.
Satu
adegan yang membuat saya sibuk mencari tisu, saat Ustad Athar salah memberi
hukuman. Ustad Athar memukul tangan Ramadhan dan kedua sahabatnya dengan
penggaris dari kayu. Mereka kesakitan dan menangis. Ustad Athar mengira
Ramadhan telah bersekongkol mengajak teman-temannya berbohong. Ramadhan diduga
keluar dari kamar pada malam hari secara sembunyi-sembunyi bersama
teman-temannya hanya untuk nonton film. Ternyata, Ramadhan mengajak kedua
sahabatnya untuk menonton acara ceramah ustad-ustad terkenal yang rutin
ditayangkan di tivi.
Adegan saat Ramadhan dan kedua sahabatnya dihukum pukulan mistar |
Adegan saat Ustad Athar menyadari kekeliruannya dan begitu
berjiwa besar meminta maaf kepada Ramadhan, membuat saya sulit mengatur emosi
untuk tidak menangis.
“Ramadhan, ambil mistar ini, Nak. Pegang dengan tanganmu,
Nak. Kau pegang kuat-kuat mistar ini, Nak. Kau pukul Abuya, Nak. Kau balas
balik, Nak. Lakukan, Nak ... seperti apa yang Abuya lakukan padamu tadi, Nak.
Pukul sekuat-kuatnya. Abuya nggak mau nanti Allah murka pada Abuya, gara-gara
salah ngasi hukuman sama kau, Nak. Sekarang, Nak ... lakukan, Nak. Balas balik,
Nak ....”
“Tidak, Abuya ... tidak Abuya.”
“Maafkan Abuya, Nak. Abuya sudah salah ngasi hukuman sama
kau, Nak. Kau ikhlas kan, Nak?”
“Iya, Abuya ... Ramadhan ridho, Abuya ....”
sambil terus menangis sesenggukan.
Saya tidak kuat menahan haru. Saat itulah,
murid saya spontan berkomentar, “Ibu nangis ya?” Dan, saya ... hening ...
sambil pelan-pelan menarik nafas.
Begitulah adegan demi adegan terus
bergulir. Akhirnya, Ramadhan kecil pun tumbuh menjadi pemuda tampan (diperankan
oleh Husein Alatas). Perubahan setting
waktu itu mulai memasukkan unsur percintaan. Alur cerita akhirnya bergulir pada
konflik cinta segitiga antara Ramadhan, Nayla (diperankan oleh Nina Septiani)
teman masa kecil Ramadhan, dan Kirana (Zee Zee Shahab), artis yang sempat
bertemu Ramadhan saat syuting di lokasi pesantren tempat Ramadhan menimba ilmu
agama.
Film yang terinspirasi dari
buku “Ada Surga di Rumahmu” karya Ustad Alhabsyi ini memang sarat dengan
dialog-dialog yang mampu mengguncang perasaan. Salah satu contoh yang saya
ingat adalah kutipan dialog (yang menjadi pesan utama) dalam film itu, “Surga itu begitu dekat, tapi mengapa kita
sibuk mengejar yang jauh?”
Banyak adegan-adegan yang sulit
membuat mata saya berpaling. Seperti pertemuan dengan Kirana yang membuncahkan
angan-angan masa kecil Ramadhan, yaitu ingin masuk televisi. Desakan dari
keinginannya itu sangat mengusik hati Ramadhan. Hingga pada suatu kesempatan
Ramadhan berdialog dengan Ustad Athar. Dialog ini juga sangat menancap di kepala
saya.
"Abuya
pernah mengatakan, kita harus mengutamakan kepentingan orangtua dan
permohonannya. Permohonan yang seperti apa, Abuya?" tanya Ramadhan pada Ustad Athar, guru
yang sangat dihormatinya itu.
"Permohonan
yang bisa membuat engkau lebih dekat dengan Allah, Nak. Ingat! Ridhonya Allah
ada pada ridho orangtua. Kalau engkau sudah dapat kata ridho yang keluar dari lisannya, maka seolah-olah langit itu akan
terbuka, Nak. Arasy itu bergoncang, Malaikat mengaminkan do'amu, dan Allah akan
meridhai semua keinginanmu," jawab Ustad
Athar begitu menggetarkan hati saya.
AllahuAkbar
...! Sebegitu hebatnya Allah menempatkan kedua orangtua kita pada kedudukan yang
paling mulia di muka bumi ini, sehingga ridho mereka menjadi syarat penentu
bagi anak-anaknya untuk bisa masuk ke surga-Nya.
Dalam usaha ingin mewujudkan mimpinya, Ramadhan akhirnya
meninggalkan Palembang (kota kelahiran Ramadhan yang menjadi setting tempat paling utama di film ini) menuju Jakarta. Tidak segampang
itu mewujudkan mimpi. Ramadhan yang ditemani kedua sahabat karibnya semasa di
pesantren akhirnya harus bermalam di salah satu masjid di ibukota.
Masuk pada adegan ketika Ramadhan tanpa sengaja mendengar
seorang remaja laki-laki sedang menangis. Ramadhan mengintip dan menyimak
tangisan itu dari dinding masjid yang dedesain berlubang-lubang. Bahu remaja
laki-laki itu berguncang memanjatkan permohonan ampun. Akhirnya Ramadhan
menghampiri dan bertanya apa yang menyebabkannya menangis. Ternyata anak itu
sedang menyesali perbuatannya. Kedua orangtuanya sudah meninggal. Ia ingin
Allah menghidupkan mereka agar ia bisa
mengubah sikap dan memohon ampunan.
Adegan saat Ramadhan mendengar curhatan remaja laki-laki yg menangis itu |
Mendengar curhatan remaja laki-laki itu,
Ramadhan sontak teringat ibunya. Mereka saling berpelukan dan Ramadhan tak kuat
menahan tangisnya. Kejadian inilah yang membuat Ramadhan memutuskan untuk
kembali ke kampung halamannya. Adegan berikutnya kembali mengaduk-aduk emosi.
Air mata saya tak bisa lagi dibendung saat Ummi Ramadhan (diperankan oleh Elma
Theana) sakit akibat menahan kerinduan pada anaknya.
Salah satu adegan yang juga bikin gak kuat menahan air mata |
Pesan utama dari film ini juga sukses tersampaikan. Selama ini kita
sibuk mencari cara untuk meraih surga-Nya di luar sana. Padahal, di rumahlah
jalan menuju surga itu. Begitu dekat, begitu mudah untuk kita raih jika kita
sadar sejak awal. Ibu sebagai media paling indah untuk kita mendapatkan surga.
Sementara Ayah menjadi pelengkap yang tak pernah mengeluh berjuang mencari
nafkah agar kita bisa meraih ilmu demi menjadi manusia yang berarti.
Walau matanya ada yang sembab, tapi tetap berusaha ceria saat foto |
Terlepas dari segala kekurangan (baik akting, bumbu percintaan
segi tiganya, hingga ending yang terasa menggantung), saya tetap merekomendasikan kalau film “Ada
Surga di Rumahmu” yang mengambil setting terbanyak di tepian Sungai Musi
Palembang ini, layak ditonton untuk segala lapisan umur. Ini catatan saya tentang acara nonton bareng bersama murid-murid saya.
Semoga mereka berhasil membuat review yang lebih bagus. Kita tunggu ya. Baidewei ... mumpung filmya masih diputar, jangan
sampai terlambat untuk menonton ya. [Wylvera
W.]
Pesan ceritanya memang sangat mudah diterima, apalagi sangat berhubungan berbakti pada orang tua :(
BalasHapusBetul, Mas.
HapusKisah antara anak dan orangtua memang lebih menyentuh.
Layak di tonton, untung aja aku di ajak ya mbak :) aku menitikkan air mata ga ketauan kan ya hehehe.
BalasHapusAlamaaak, aku lupa menyebut namamu di dalam catatan itu, Mbak Lidya. Maafkeun ya. Terima kasih banget sudah mau nemani aku ngemong anak-anak. Suatu hari nanti kalau aku tiba-tiba pindah, aku sdh punya calon yg gantiin aku ni. *kedip-kedip*
HapusBtw, kita sama-sama mewek tapi sama-sama gengsi ya. ;)
Ini menyangkut banget dengan pelajaran sekolah anak.....muatan akhlak, santun dan moral..jg lainnya.... makasih reviewnya mbak Wik.... smg mnyusul bs nonton jg... #miris dgn prilaku BC tentang film ini...
BalasHapusIya, Levin.
HapusKenapa harus dipukul rata ya. :(
ekskul jurnalistiknya asik bangte, Mbak. Karena ada acara nobar rutinnya :)
BalasHapus*banget* maaf, typo :D
HapusIya, karena ada materi review, Mbak. Anak-anak lebih memilih nobar, karena lebih seru katanya. :)
HapusAsik banget Mbak, jadi kegiatan rutin tiap tahunnya nonton bareng.. :D
BalasHapusIya, ada nobar, kunjungan ke panti asuhan dan sekolah anak-anak pemulung, atau wawancara para pedagang. :)
HapusJadi pengen nonton. Padahal baca reviewnya aja dah mewek niih mbaak ... gimana kalo nonton coba ....
BalasHapusSiapkan tisu, Mbak Titie. :)
HapusBosenin gak alurnya? Pengen nonton bawa anak anak
BalasHapusGak sih. Kalau ada yang kurang nyaman, mungkin di bagian adegan percintaannya saja. Tapi so far so goodlah. Pesan dakwahnya nyampe, Mak. :)
HapusBagus ya mabk filmnya, sedih hiks..hiks..
BalasHapus