Setiap
kali bepergian dengan kendaraan umum, selalu saja ada hikmah yang kubawa
pulang. Waktu itu, selepas mengikuti
kegiatan olahraga di kawasan Blok M, aku memilih pulang naik bis. Sehabis berlatih, aku pun langsung menuju terminal Blok
M untuk menunggu bis jurusan Bekasi.
Peluh mulai membasahi kening dan punggungku. Teriknya
matahari membuatku nyaris terbakar. Bis yang kutunggu belum juga kelihatan.
Demi melawan panas yang menyengat, aku berkomat-kamit, berdoa supaya
bis segera tiba. Akhirnya doaku terkabul. Buru-buru aku menaikinya.
Mengempaskan tubuh di salah satu bangkunya. Udara dingin yang berhembus dari
pendingin bis, sedikit membantu.
Panas matahari menembus dinding-dinding bis yang kunaiki.
AC yang dinyalakan pak sopir sebenarnya tak banyak berpengaruh pada udara di
dalam angkutan. Peluh di badanku selepas olahraga tadi belum sempurna
mengering. Tiba-tiba, keisenganku muncul. Dari pada menggerutu tentang panas
dan gerah, lebih baik aku mencandai situasi. Satu, dua, tiga! hitungku mulai iseng dalam hati. Hitungan
kulakukan untuk menebak, pasti sebentar
lagi bis akan dipenuhi oleh suara merdu musisi jalanan. Benar saja. Anak
muda itu mulai bernyanyi. Sebuah lagu berakhir dengan mulus.
Lumayanlah, aku suka lagunya. “Andaikan Kau Datang
Kembali.” Lagu lama yang pernah hits dinyanyikan ulang oleh Ruth Sahanaya waktu
itu. Suasana panas
berangsur-angsur sejuk mendengar lagu itu dinyanyikan dengan alunan suara yang
bagus. Sesekali bibirku ikut bergumam mengikuti syairnya. Berlanjut
ke lagu berikutnya, aku mulai tak kuat menekan rasa kantuk yang sedari tadi
menghimpit kelopak mataku. Hingga aku tak sadar, kalau pengamen itu sudah
menyelesaikan lagunya.
“Terimakasih
Bu,” katanya kepada penumpang yang duduk disebelahku. Buru-buru kukeluarkan
uang ribuan. Aku suka pada lagu dan suaranya, jadi rasanya tak menyesal untuk
memberikannya tips lebih. Dia kembali mengucapkan terimakasih.
Bis
terus berjalan hingga pintu tol Jati Bening. Aku sudah tak ingin tidur lagi. Biasanya,
habis pengamen satu turun dan rute bis masih cukup untuk satu atau dua lagu,
pastilah kembali diisi dengan pengamen berikutnya. Aku kembali iseng
menghitung. “Satu, dua, tiga!” bisikku dalam hati. Aku menghitung seperti hendak
mengikuti lomba lari cepat. Pada hitungan ketiga tebakanku kembali tepat. Bis
kembali diisi dengan musisi lainnya. Kali ini pengamen cilik. Sebagai awal
penampilannya, dia membagikan amplop-amplop berukuran kecil, cukup untuk
meletakkan uang receh saja sebenarnya.
Anak itu
mulai bernyanyi. Rasa kantukku sudah hilang dilumat suara fales pengamen cilik
itu. Samasekali tak ada keindahan di lagu-lagu yang dinyanyikannya. Kalau boleh
jujur, lebih baik anak ini baca puisi saja ketimbang bernyanyi.
“Terimakasih,
Bapak sopir, Bapak kondektur, dan Bapak Ibu yang baik hati. Keikhlasan Bapak
Ibu yang sangat kami harapkan untuk bisa kami gunakan membeli sebungkus nasi,”
kata anak itu sambil kembali memunguti amplop-amplop yang dibagikannya ke
seluruh penumpang tadi. Dari bangku depan, aku mulai melihat ekspresi kesal di
wajahnya. Tentu saja, amplop-amplop itu mungkin kembali dengan kosong. Anak itu
pasti bisa meraba, apakah amplop kosong miliknya telah terisi uang atau tidak.
Sampai ke bangku belakang, aku tak lagi melihat raut
wajahnya, hanya gerutunya saja yang terdengar.
“Orang
kaya kenapa pelit-pelit ya? Enggak masuk surga kalau punya duit tapi dimakan
sendiri!”
Surprise! Refleks sebagian
penumpang menoleh ke arahnya. Aku tak tahu, apakah mereka ingin marah atau malu
mendengar ocehan pengamen cilik itu.
Ternyata,
sedekah pada pengamen juga sangat dipengaruhi oleh mutu suara. Kalau pengamen
pertama yang naik dari Blok M, bisa mengumpulkan rezeki lebih banyak, karena
lagu dan suaranya cukup lumayan. Tapi, pengamen cilik ini tak sedikitpun
memberi penghiburan di dalam bis.
“Kasihan kamu dek, mestinya kamu sekolah vocal dulu baru
jadi pengamen,” bisikku
bergurau dalam hati. Aku membayangkan pengamen cilik itu pasti malas membuka
amplop-amplop yang tak berisi itu. Salah satu amplop yang tadi diletakkannya di
atas pangkuanku, juga terselip diantara puluhan amplop kosong yang tadi
disebarkannya ke seluruh penumpang bis. Akhirnya, pengamen cilik itu turun juga dengan amplop-amplop kosong di
perempatan lampu merah Metropolitan Mal.
Dek, coba kamu lihat lagi...mungkin tak semua
amplopmu kosong lo, bisikku kembali dalam hati. [Wylvera W.]
--------
Dimuat di majalah Insani Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia.
Iya mak, sampai skrg masih banyak anak2 kecil meminta uang dengan amplop begitu.. :(
BalasHapusIya, dan gak jarang juga mereka gak mendapatkan apa yang mereka harapkan, Mak. :)
HapusHArusnya si adek jangan menggerutu dulu ya. Buka dulu amplop dari Mbak Wiwik yang sudah bercampur dengan puluhan amplop kosong. Hihi..
BalasHapusHahaha, iya kasihan sih sebenarnya.
HapusDi depan ATM kadang ada penunggunya yg ngasih amplop kosong. Harapannya tentu agar diisi oleh orang yg baru keluar dari ATM. Nggak tahu dengan pasti apakah ada yg ngisinya atau tidak. Maklum yg masuk ATM belum tentu ambil uang. Mungkin hanya mbayar listrik atau cicilan motor.
BalasHapusSiapa ya yang ngajari pengamen beramplop itu?
Salam hangat dari Surabaya
Iya, Pakde.
HapusSiapa yang memulai cara seperti itu ya?