Kamis, 09 Agustus 2012

Anak Indonesia dan Lagu Nasional


Mira, Khalid, dkk saat latihan persiapan tampil di UN day
“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pula-pulau
Sambung Menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia…

Indonesia tanah airku aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku tanah airku Indonesia…..”

           Pernah mendengar lagu nasional yang ini? Saya yakin jawabannya bisa ya bisa tidak..:-)
Pengalaman saya menonton murid-murid Indonesia dari Martin Luther King Jr. Elementary School selama berlatih untuk mempersiapkan penamplian mereka di United Nation day (UN day) di sekolah pada tgl 24 Oktober nanti, membuat hati saya tergerak mengutip salah satu lagu yang akan mereka kumandangkan sebagai pembuka tulisan ini. Semua ada enam lagu yang dilantunkan secara medley sebenarnya :
*Dari Sabang sampai Merauke : R. Suharjo
*Bendera Merah Putih : Ibu Sud
*Caca Marica
*Nona Manis siapa yang punya
*Ayo Mama
*Indonesia Pusaka : Ismail Marzuki
Mbak Poppy mengiringi anak-anak latihan
            Setiap kali menyimak anak-anak kami berlatih, diam-diam ada rasa haru yang mengalir di dada saya. Rasa haru ini berbarengan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan dalam batin. ”Apakah anak-anak Indonesia ini mengerti dengan syair yang sedang mereka nyanyikan?” Apakah anak-anak ini bisa merasakan getaran bangga pada saat mereka melantunkan syair-syair ini?”  Seperti dulu, waktu saya masih anak-anak, saya selalu merasa bangga ketika guru saya meminta saya menyanyikan lagu-lagu nasional/kebangsaan di depan kelas. Apalagi ketika saya diminta menyanyikan lagu ”Indonesia Pusaka” ciptaan Ismail Marzuki itu. Wah! Dengan penuh perasaan saya bawakan di depan kelas. Karena saya menyanyikannya sungguh-sungguh dari hati. Dari hati seorang putri Indonesia yang lahir dan dibesarkan di tanah air Indonesia.
            Tapi, bagaimana dengan anak-anak ini? Kalau boleh jujur, saya simpulkan sepertinya mereka bernyanyi sekedar ingin menunaikan tugas untuk tampil sesuai dengan keinginan guru Bahasa Indonesia nya saja di hari ’H’ nanti.  Tak ada emosi dan ekspresi di wajah mereka. Tak ada dinamika di nada-nada suara mereka. Serta tak ada pancaran rasa bangga yang tergambar di raut wajah mereka. Datar saja!
                Sebagian lagu-lagu yang nanti mereka kumandangkan di depan puluhan murid serta beberapa guru mereka yang datang dari kultur dan budaya serta negara yang berbeda-beda, merupakan alat yang bisa memperkenalkan mereka dan menunjukkan bahwa ”Aku adalah anak Indonesia”.
            Memang, mereka tak patut dipersalahkan dalam hal ini. Anak-anak kita ini mungkin sudah tak seperti anak-anak di zaman saya dulu, yang selalu lantang jika diminta menyuarakan ”Merdeka!!” Meskipun saya tak hidup di zaman perang, namun rasa bangga itu terwarisi dan seperti benar-benar merasuk ke jiwa saya. Seperti bangganya saya ketika diminta menjadi paskibra (pasukan pengibar bendera) meskipun hanya untuk lingkup sekolah saya saja. Begitu terharunya saya ketika diminta menjadi dirigen untuk menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” di depan semua murid, guru dan kepala sekolah waktu itu. Semua kebanggaan akan terlihat di ekspresi wajah saya ketika itu. Sayangnya, tak ada bukti otentik. Kalau saja ada, saya akan menggunakannya sebagai mata rantai berikutnya untuk mewariskan semangat ini kepada anak-anak saya.
            Anak-anak kita ini mungkin sudah tak pernah mendengar syair-syair lagu tentang tanah air, bangsa dan negaranya. Ini bedanya zaman. Setiap tahap akan menampakkan ciri-cirinya sendiri. Anak-anak kami ini mungkin sadar sepenuhnya bahwa mereka sungguh-sungguh anak Indonesia, meskipun mereka mungkin tak sempat dikenalkan dengan lagu-lagu itu.     

Saat tampil di Martin Luther King Junior Elementary School
            Sekali lagi, inilah mungkin perbedaan dan pergerakan zaman. Mereka ingin melihat Indonesia dari sisi yang berbeda. Jadi tak ada yang salah sebenarnya pada fase saya dan fase mereka. Hanya saja kadang saya suka terbawa emosi, mengapa anak-anak zaman sekarang semakin sedikit yang bilang ”ya, aku tahu,” atau ”ya, aku hafal,” jika mereka ditanya tentang lagu kebangsaan atau lagu-lagu nasionalnya. Atau mungkin, masih ada diantara kita yang notabene kelahiran ’70-an, mengaku tak tahu dan tak kenal dengan ketiga lagu nasional di atas. Jadi, dengan kondisi ini, rasanya tak patut marah jika melihat kenyataan yang saya utarakan di atas. Melihat dan menyimak mereka bernyanyi tanpa rasa, ada rasa sedih dan haru yang bergejolak di batin saya.
            Mau tak mau saya harus jauh lebih bisa memahami dan memberikan kesempatan, bahwa anak-anak kita ini merasa menjadi anak Indonesia bukan hanya sekedar bisa berekspresi ketika mereka sedang menyanyikan lagu-lagu nasional itu. Mereka ingin memberikan jiwa dan raga mereka kepada bangsa dan tanah airnya tidak sekedar dalam bentuk memberi rasa pada sebuah nyanyian semata. Keberhasilan mereka kelak di belahan bumi manapun mereka akan terdampar, mereka tetap meyakini bahwa mereka adalah putra putri Indonesia seutuhnya. Mereka akan menjadi apa, atau apa yang bisa mereka berikan kepada tanah leluhurnya, mereka rasakan lebih dari sekedar meresapi sebuah lagu.  Pikiran-pikiran mereka, dedikasi mereka adalah cerminan bahwa mereka ingin menunjukkan pada dunia  ”Aku anak Indonesia!”


Urbana, 17 Okt ’08 
From my MP

2 komentar:

  1. Hi Mba Wiwiek

    Perkenalkan saya Evi dari Digital Flash
    Ingin menawarkan Job Riview salah satu Product dari Unilever (molto)

    Jika mba wiwiek bersedia , tolong hub kami di evi@dgflash.com

    di Tunggu feedback nya

    Warm Regards,
    Evi

    BalasHapus
  2. Terimakasih, Mbak Evi.

    Untuk mengetahui kejelasan cara kerjanya, boleh kah saya bertanya terlebih dahulu ke alamat email yang diberikan?

    Salam,
    Wiwiek.

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...