Selasa, 07 Agustus 2012

Kanker dan Keprihatinan

             
              Di Jakarta, hampir semua orang mengenal Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”. Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” adalah rumah sakit kanker pertama di Indonesia dan merupakan Pusat Kanker Nasioanl serta menjadi rumah sakit rujukan di bidang penanggulangan kanker di Indonesia.
            Beberapa waktu yang lalu, saya sengaja mengajak kedua anak saya mengunjungi rumah sakit ”Dharmais”. Waktu libur mereka, ingin saya isi dengan sesuatu yang bermanfaat. Jadilah kami bertiga melihat secara langsung orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Saya mengajak kedua buah hati melihat tempat perawatan anak-anak penderita kanker dari dekat. Anak-anak saya begitu terpana dan terenyuh  melihat kondisi anak-anak tersebut. Selain menderita kanker otak, ada yang terkena kanker kelenjar getah bening, kanker saraf, tumor otak, kanker mata (Retinoblastoma), limfoma (benjolan di lehar, ketiak dan pangkal paha, cepat membesar), kanker tulang dan leukimia (kanker darah). 
            Saya sempatkan berbincang dengan salah satu relawan dari Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (Community for Children with Cancer), yaitu yayasan yang bertujuan untuk membantu keluarga pasien miskin yang anaknya menderita kanker. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Salah satunya, yang paling menyedihkan,  ternyata kebanyakan anak-anak penderita kanker berasal dari keluarga yang kurang mampu. ”Yayasan ini didirikan untuk mencari para donatur yang berkenan membantu biaya perobatan pasien di sini,” kata relawan tersebut menjelaskan. Mengingat biaya pengobatan untuk penyakit kanker tidaklah murah, Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia yang diketuai oleh dr. Edi Setiawan Tehuteru, SP. A, MHA, IBCLC tak henti-hentinya menyebarkan informasi mengenai penanganan anak-anak penderita kanker dari keluarga kurang mampu. ”Meskipun ada Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) tapi tidak sepenuhnya membantu,” tambahnya lagi. Biaya untuk sekali kemoterapi saja sudah menghabiskan jutaan rupiah. Meskipun saat ini yayasan telah menerima banyak bantuan dari para donatur, namun karena anak-anak penderita kanker cukup banyak dan terus bertambah, bantuan yang diterima masih belum mencukupi menutup biaya pengobatan para pasien. Sebagai lembaga swadana, mereka masih sangat mengharapkan kerelaan para dermawan dalam membantu biaya pengobatan pasien penderita kanker dari keluarga kurang mampu.
            Dalam menangani pasien anak-anak, pihak rumah sakit menerapkan tiga pendekatan/treatment, yaitu Clinical, Psyco and Social. Treatment secara klinis (clinical) salah satunya dengan memberikan EMLA (Eutectic Mixture of Lidocaine and Prilocaine), yaitu sejenis krim penahan rasa sakit. Sementara treatment Psikologis bertujuan meyakinkan si pasien untuk menerima kenyataan bahwa saat ini mereka sedang menderita kanker. Anak-anak ini diyakinkan bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah ’momok’ yang harus ditakuti. Mereka tidak perlu putus asa dan diberikan motivasi untuk terus berjuang meneruskan hidup. Treatment berikutnya adalah pendekatan sosial yang bertujuan untuk membantu sosialisasi pasien dengan lingkungan. Maksudnya agar pasien anak-anak merasa tidak dikucilkan. Mereka tetap sebagai bagian dari lingkungan di mana mereka berada. Para pasien penderita kanker pada dasarnya membutuhkan semangat agar tetap merasa sebagai makhluk Tuhan yang normal.   
          Anak-anak pengidap kanker rata-rata mengalami stress dan depresi ketika diharuskan menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Hal ini tampak pada keengganan mereka untuk makan, melakukan kegiatan di ruang bermain, selalu diam dan malas berbicara. Di sinilah peran para relawan membantu memulihkan kepercayaan diri si pasien. Untuk memfasilitasi kerja para relawan, pihak rumah sakit mendesain tempat yang bernama ”Bangsal Persahabatan.” Di bangsal ini, anak-anak penderita kanker diupayakan merasa nyaman. Ada tempat bermain, perpustakaan dan ruang komputer. Dengan fasilitas yang ada, pasien anak-anak  diharapkan tetap bisa menjalani kehidupan layaknya anak-anak lain seperti bersekolah, bermain, berinteraksi dengan orang tua dan aktifitas lainnya. Untuk kegiatan bersekolah, relawan dari Yayasan Pita Kuning berupaya agar anak-anak tersebut tetap mamperoleh kesempatan belajar meskipun dengan metode yang berbeda dari sekolah formal di luar rumah sakit.
            Dari kunjungan tersebut, kami melihat sesuatu yang lebih menyentuh dari wajah anak-anak tersebut. Meskipun berusaha menutupi, tapi wajah mereka yang tidak berdosa terlihat berusaha menahan penderitaan akibat penyakit yang ganas ini. Kanker memang penyakit yang luar biasa. Dia baru menunjukkan tanda-tanda kasat mata ketika telah menguasai sebagian besar fisik korbannya. Karena itu, upaya pengobatan seringkali berhadapan dengan kenyataan kondisi pasien yang sudah lemah. Namun demikian, para dokter dan petugas paramedis yang menangani penderita kanker selalu bersikap optimis dengan tetap mengupayakan tindakan pengobatan yang diperlukan. 
       Fakta lain yang seringkali mengguncang hati para dokter dan paramedis adalah kenyataan bahwa kebanyakan pasien yang mereka tangani berasal dari keluarga kurang mampu. Sambil berusaha menahan haru, dr. Edi menceritakan, ada orang tua dari salah satu pasiennya yang hanya bermata pencaharian sebagai pedagang nasi uduk. Ibu si anak rela meminta uang modal kepada dr. Edi untuk diperbolehkan menjual nasi uduk di lingkungan rumah sakit. Tujuannya, agar dia dapat terus mendampingi anaknya selama dalam perawatan, sementara si ibu tak harus bulak balik (Serang-Jakarta-red) yang tentunya membutuhkan biaya tambahan.
         Selain faktor ekonomi, para dokter dan paramedis kadangkala juga harus bersikap bijak menghadapi reaksi penolakan dari keluarga  si pasien. Ada kisah sedih yang disampaikan oleh dr. Edi ketika menangani pasien anak penderita kanker tulang. Alternatif pencegahan yang direkomendasikan dr. Edi adalah tindakan amputasi kaki si anak. Namun, rekomendasi tersebut ditolak oleh orang tua si anak. Dokter Edi terus berusaha meyakinkan bahwa itulah salah satu cara yang paling memungkinkan untuk mencegah penyebaran sel kanker lebih jauh. Sikap penolakan yang berulang-ulang menyebabkan penanganan terhadap pasien menjadi terkendala sementara sel kanker terus menggerogoti kesehatan si pasien. Ketika pada akhirnya orang tua si pasien setuju, tindakan pengobatan sudah sangat terlambat dan si pasien akhirnya meninggal dunia. Tragedi ini sangat memukul orang tua si pasien yang menyesali dirinya dan mengatakan bahwa, penyebab kematian si anak bukan semata-mata karena kanker yang diderita tapi juga karena sikapnya yang tidak kooperatif. Dari kasus ini, dr. Edi menghimbau agar masyarakat memberikan dukungan dan kepercayaan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
            Pada awalnya saya berharap kunjungan ke Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” dapat membuka mata hati kedua buah hati saya bahwa masih banyak anak-anak lain seusia mereka yang hidupnya kurang beruntung. Saya hanya ibu yang dititipkan sepasang amanah yang tak ternilai harganya. Apa yang mereka lihat, Insya Allah menjadi catatan khusus di hati mereka berdua. Saya harapkan mereka tak lupa mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan pada kehidupan mereka. Di akhir kunjungan, ternyata saya juga mendapat pelajaran penting tentang bagaimana memaknai hidup. Bahwa dalam setiap butir rezeki yang kita peroleh ada kesempatan beribadah dengan memberi sebagian kepada mereka yang kekurangan.   
Khalid dan anak teman saya yg sempat dirawat di Dharmais
            Saya hanya bisa mengatakan bahwa anak-anak penderita kanker ini mendambakan/membutuhkan kepedulian kita. Mereka ada di sudut-sudut kamar rumah sakit. Mereka nyata di hadapan kita. Mereka membutuhkan dukungan agar tetap bisa menghadapi hidup dengan lebih tegar. Kepedulian kita merupakan obat mujarab bagi anak-anak dan orangtua mereka. Agar mereka tidak merasa sendirian menanggung beban yang berat itu. 

Jakarta, 22 Juni 2009
From my MP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...