Pagi itu cuaca di perkampungan kami sedikit
mendung. Semalaman hujan
turun tiada berhenti. Orang-orang
mengira pagi ini akan cerah sebagai pengganti dari kemurungan hari sebelumnya. Ternyata
tidak. Sisa-sisa keredupan awan masih terhampar di atas langit. Bedanya pagi
ini jalanan tak lagi ditambah lembab oleh air hujan.
Dengan membawa sobekan
kertas berisi daftar belanja hari ini, aku pun pergi ke warung yang biasa di
kunjungi warga untuk membeli kebutuhan memasak sehari-harinya. Satu meter dari
tempat itu, aku melihat sudah ramai para ibu yang sibuk memilih-milih ikan dan
sayuran. ”Wah, aku bakal tidak kebagian ni,” pikirku mempercepat langkah.
”Assalamu’alaikum bu,” sapaku pada salah seorang
warga kami.
”Wa’alaikumsalam, eh bu Tari... kesiangan, Bu?”
”Ya, tadi masih ragu mau belanja atau enggak ni,”
aku pun mulai ikut bergabung memilih ikan dan sayur yang akan kuracik menjadi
menu hari ini.
”Bu Tari udah dengar kabar belum?” tanya si ibu
lagi setengah berbisik.
”Kabar apa ya, Bu?” tanyaku tidak mengerti.
”Pak Ibeng kecelakaan, sekarang ada rumah sakit
lo.”
”Astaghfirullah, saya enggak tahu beritanya,”
kataku terkejut.
”Alaaah biarin aja bu Tari, orang seperti itu
memang pantas diberi pelajaran.”
Aku melongo mendengar komentar ibu yang
lainnya. Mengapa mereka begitu sinis menanggapi warganya yang sedang ditimpa
musibah? Pak Ibeng memang jarang terlihat di pertemuan warga. Kalaupun hadir hanya sesekali. Kata
suamiku, dia memang selalu sibuk. Jam kerjanya tidak seperti orang kantoran biasa, yang berangkat pagi dan
pulang menjelang maghrib. Aku juga kurang paham pekerjaan apa yang dia geluti.
Kadang-kadang dia harus meninggalkan istri dan anak-anaknya berhari-hari untuk
menjalankan kewajibannya ke luar kota.
”Orangnya kasar, ngomong gak bisa pelan, suka
ngatur padahal jarang ikut rapat RT, tapi herannya pak RT kok ya mau aja sih di
arahin sama pak Ibeng ya, Bu Tari,” tambah yang lainnya seperti belum puas
mensyukuri Pak Ibeng yang ditimpa musibah.
”Ya, mungkin emang sudah pembawaannya begitu Bu,
tapi kita kan gak tahu pak Ibeng yang sebenarnya,” jawabku mulai gerah.
”Gak tahu gimana? Pokoknya sok pinter deh dia
itu. Saya paling sebel kalau dia tiba-tiba unjuk bicara di rapat, kesannya sok
bijaksana dan paling tahu segala, pokoknya sok ngaturlah, padahal dia dan
keluarganya baru juga tiga tahun di sini. Untung istrinya baik, kalau wataknya
sama aduh! Amit-amit deh saya mau temenan sama tu keluarga.”
Aku mulai
jengah mendengar segala perkataan mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat aku pun
segera membayar belanjaanku, dan pamit padanya.
Sambil memasak, aku kembali memikirkan komentar
para ibu yang sangat sarkas pada pak Ibeng tadi. Kucoba mengingat-ingat, apa
saja yang pernah dia lakukan selama menjadi warga di sini. Pak Ibeng sangat
sosial. Tak pernah menolak jika diminta sumbangan oleh suamiku. Untuk mesjid,
untuk warga yang sakit, untuk pebaikan selokan dan macam-macam lagi yang pernah
dia sumbangkan. Tapi, sayangnya warga tak pernah tahu kalau uang yang kami
pakai untuk itu semua, sebagaian adalah sumbangan Pak Ibeng. Suamiku selalu
amanah. Pak Ibeng meminta kami untuk tidak menceritakannya kepada warga, bahkan
untuk mencantumkan namanya pun dia tak ingin.
Kebetulan suamiku bendahara di
lingkungan kami, jadi aku tahu semua itu. Kasihan Pak Ibeng, pikirku merenung.
Pak Ibeng memang tidak pandai beramah tamah dengan tetangga. Sikap yang
ditampilkannya terkesan pendiam dan sombong. Sesekali dia bicara, nadanya
memang terdengar galak. Suaranya keras, tak seperti orang Jawa kebanyakan, atau
orang-orang yang terlahir dan dibesarkan di tanah Jawa. Kalau dia tidak setuju
pada satu hal, dia ungkapkan dengan argumentasinya. Meskipun argumentasi itu
benar, namun ada warga yang mungkin kurang suka dengan caranya mengungkapkan
sesuatu. ”Terlalu blak-blakan,” kata mereka yang sudah terbiasa dengan budaya
”ngikut asal semua senang.” Ini yang mungkin terkesan menjengkelkan bagi warga.
Tapi seandainya mereka tahu siapa dan bagaimana Pak Ibeng yang sebenarnya, aku
yakin mereka akan mengubah cara pandang dan penilaiannya. Tapi bagaimana
menjelaskannya ke warga. Lamunanku terputus mendengar suara telepon berbunyi.
”Assalamu’alaikum, Bu Tari....”
”Wa’alaikumsalam, Bu,” sahutku.
”Pak Ibeng meninggal dunia,” kudengar suara
diseberang sana tergesa-gesa.
”Innalillahiwainnailaihi rozi’un....”
Sebelum dimakamkan, Pak RT memberi kata sambutan
di depan jenazah P;ak Ibeng dan semua warga yang hadir di rumah duka itu. Pak RT
akhirnya membeberkan semua kebaikan pak Ibeng semasa hidupnya. Kuperhatikan
raut-raut wajah yang memerah, memucat, dan beberapa mulut ternganga, mendengar
ulasan pak RT. Yang selama ini menghujat, mencela bahkan sempat mensyukuri
musibah yang menimpa pak Ibeng pun kulihat ada genangan air di mata mereka.
Ternyata suamiku tak kuat menyimpan amanah dari Pak Ibeng, dia menceritakan
semuanya kepada Pak RT. Di akhir ucapan belasungkawanya Pak RT berkata, ”Yang terlihat cantik belum tentu indah, yang
terlihat lembut belum tentu baik, yang terlihat diam belum tentu benar, yang
terlihat kasar belum tentu jahat, jadi saya ingin meminjam istilah luar
yaitu, don’t judge a book by its cover... marilah sama-sama kita mendoakan
arwah Pak Ibeng agar mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT...dan segala
amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT...Aamiin.”
Note : Dimuat di majalah Annida No.11/XVII/Juli 2008
KIsah Sejati "Pak Ibeng"
KIsah Sejati "Pak Ibeng"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar