Senin, 13 Agustus 2012

Pak Ibeng


     Pagi itu cuaca di perkampungan kami sedikit mendung. Semalaman hujan turun tiada berhenti. Orang-orang mengira pagi ini akan cerah sebagai pengganti dari kemurungan hari sebelumnya. Ternyata tidak. Sisa-sisa keredupan awan masih terhampar di atas langit. Bedanya pagi ini jalanan tak lagi ditambah lembab oleh air hujan. 
     Dengan membawa sobekan kertas berisi daftar belanja hari ini, aku pun pergi ke warung yang biasa di kunjungi warga untuk membeli kebutuhan memasak sehari-harinya. Satu meter dari tempat itu, aku melihat sudah ramai para ibu yang sibuk memilih-milih ikan dan sayuran. ”Wah, aku bakal tidak kebagian ni,” pikirku mempercepat langkah.
     ”Assalamu’alaikum bu,” sapaku pada salah seorang warga kami.
    ”Wa’alaikumsalam, eh bu Tari... kesiangan, Bu?”
    ”Ya, tadi masih ragu mau belanja atau enggak ni,” aku pun mulai ikut bergabung memilih ikan dan sayur yang akan kuracik menjadi menu hari ini.
     ”Bu Tari udah dengar kabar belum?” tanya si ibu lagi setengah berbisik.
     ”Kabar apa ya, Bu?” tanyaku tidak mengerti.
     ”Pak Ibeng kecelakaan, sekarang ada rumah sakit lo.”
     ”Astaghfirullah, saya enggak tahu beritanya,” kataku terkejut.
    ”Alaaah biarin aja bu Tari, orang seperti itu memang pantas diberi pelajaran.” 
Aku melongo mendengar komentar ibu yang lainnya. Mengapa mereka begitu sinis menanggapi warganya yang sedang ditimpa musibah? Pak Ibeng memang jarang terlihat di pertemuan warga. Kalaupun hadir hanya sesekali. Kata suamiku, dia memang selalu sibuk. Jam kerjanya tidak seperti orang kantoran biasa, yang berangkat pagi dan pulang menjelang maghrib. Aku juga kurang paham pekerjaan apa yang dia geluti. Kadang-kadang dia harus meninggalkan istri dan anak-anaknya berhari-hari untuk menjalankan kewajibannya ke luar kota.
     ”Orangnya kasar, ngomong gak bisa pelan, suka ngatur padahal jarang ikut rapat RT, tapi herannya pak RT kok ya mau aja sih di arahin sama pak Ibeng ya, Bu Tari,” tambah yang lainnya seperti belum puas mensyukuri Pak Ibeng yang ditimpa musibah.
     ”Ya, mungkin emang sudah pembawaannya begitu Bu, tapi kita kan gak tahu pak Ibeng yang sebenarnya,” jawabku mulai gerah.
       ”Gak tahu gimana? Pokoknya sok pinter deh dia itu. Saya paling sebel kalau dia tiba-tiba unjuk bicara di rapat, kesannya sok bijaksana dan paling tahu segala, pokoknya sok ngaturlah, padahal dia dan keluarganya baru juga tiga tahun di sini. Untung istrinya baik, kalau wataknya sama aduh! Amit-amit deh saya mau temenan sama tu keluarga.” 
Aku mulai jengah mendengar segala perkataan mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat aku pun segera membayar belanjaanku, dan pamit padanya.
        Sambil memasak, aku kembali memikirkan komentar para ibu yang sangat sarkas pada pak Ibeng tadi. Kucoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah dia lakukan selama menjadi warga di sini. Pak Ibeng sangat sosial. Tak pernah menolak jika diminta sumbangan oleh suamiku. Untuk mesjid, untuk warga yang sakit, untuk pebaikan selokan dan macam-macam lagi yang pernah dia sumbangkan. Tapi, sayangnya warga tak pernah tahu kalau uang yang kami pakai untuk itu semua, sebagaian adalah sumbangan Pak Ibeng. Suamiku selalu amanah. Pak Ibeng meminta kami untuk tidak menceritakannya kepada warga, bahkan untuk mencantumkan namanya pun dia tak ingin. 
        Kebetulan suamiku bendahara di lingkungan kami, jadi aku tahu semua itu. Kasihan Pak Ibeng, pikirku merenung. Pak Ibeng memang tidak pandai beramah tamah dengan tetangga. Sikap yang ditampilkannya terkesan pendiam dan sombong. Sesekali dia bicara, nadanya memang terdengar galak. Suaranya keras, tak seperti orang Jawa kebanyakan, atau orang-orang yang terlahir dan dibesarkan di tanah Jawa. Kalau dia tidak setuju pada satu hal, dia ungkapkan dengan argumentasinya. Meskipun argumentasi itu benar, namun ada warga yang mungkin kurang suka dengan caranya mengungkapkan sesuatu. ”Terlalu blak-blakan,” kata mereka yang sudah terbiasa dengan budaya ”ngikut asal semua senang.” Ini yang mungkin terkesan menjengkelkan bagi warga. Tapi seandainya mereka tahu siapa dan bagaimana Pak Ibeng yang sebenarnya, aku yakin mereka akan mengubah cara pandang dan penilaiannya. Tapi bagaimana menjelaskannya ke warga. Lamunanku terputus mendengar suara telepon berbunyi.
     ”Assalamu’alaikum, Bu Tari....”
    ”Wa’alaikumsalam, Bu,” sahutku.
    ”Pak Ibeng meninggal dunia,” kudengar suara diseberang sana tergesa-gesa.
    ”Innalillahiwainnailaihi rozi’un....”
    Sebelum dimakamkan, Pak RT memberi kata sambutan di depan jenazah P;ak Ibeng dan semua warga yang hadir di rumah duka itu. Pak RT akhirnya membeberkan semua kebaikan pak Ibeng semasa hidupnya. Kuperhatikan raut-raut wajah yang memerah, memucat, dan beberapa mulut ternganga, mendengar ulasan pak RT. Yang selama ini menghujat, mencela bahkan sempat mensyukuri musibah yang menimpa pak Ibeng pun kulihat ada genangan air di mata mereka. Ternyata suamiku tak kuat menyimpan amanah dari Pak Ibeng, dia menceritakan semuanya kepada Pak RT. Di akhir ucapan belasungkawanya Pak RT berkata, ”Yang terlihat cantik belum tentu indah, yang terlihat lembut belum tentu baik, yang terlihat diam belum tentu benar, yang terlihat kasar belum tentu jahat, jadi saya ingin meminjam istilah luar yaitu, don’t judge a book by its cover... marilah sama-sama kita mendoakan arwah Pak Ibeng agar mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT...dan segala amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT...Aamiin.”

Note : Dimuat di majalah Annida No.11/XVII/Juli 2008
          KIsah Sejati "Pak Ibeng"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...