Sabtu, 13 Oktober 2012

Jadi Volunteer di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF 2012)

        Menjadi volunteer sebenarnya bukan pengalaman pertama buat saya. Saya pernah merasakannya di event yang berbeda. Tapi, belakangan saya berfikir bahwa menjadi volunteer di acara bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), merupakan pengalaman baru yang bagi saya pantas untuk dijajal.

Berawal dari obrolan di grup, terbesit keinginan untuk hadir ke acara UWRF 2012. Bukan sebagai volunteer atau sebagai pembicara/pemateri, melainkan sebagai peserta. Melihat acaranya yang begitu menarik, sayang rasanya untuk dilewatkan. Atas saran teman (Indah Juli-red), saya mencoba mendaftar secara online sebagai volunteer di website UWRF tersebut. Saya memilih di Children and Youth Program, karena saya memang merasa lebih enjoy jika ditempatkan di bagian itu. But, nothing to lose! Itu kesan yang saya rasakan saat mengisi formulir pendaftaran. Diterima, syukur... enggak pun tidak masalah.
Setelah mengisi aplikasi yang lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris itu, saya tak lagi memikirkannya. Sekitar seminggu setelah itu, ada informasi di e-mail saya yang mengatakan kalau saya diterima sebagai volunteer bersama 199 orang lainnya dari negara yang berbeda-beda.
Bingung dan sekaligus senang saya rasakan bersamaan. Senang, karena bakal merasakan pengalaman seru yang pertama dan bertemu dengan orang-orang dari beragam negara di ajang bergengsi itu. Bingung, karena ternyata tiket dan akomodasi ditanggung sendiri. Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kebingungan saya pun terpecahkan. Suami mendukung 100%. Saya pun mulai mencari-cari informasi dari teman-teman yang pernah menjadi volunteer di acara itu. Alhamdulillah, beberapa informasi penting sudah saya dapatkan, termasuk penginapan dan transportasi selama di sana.
Singkat cerita, saya pun mempersiapkan diri untuk berangkat. Bersama seorang teman yang juga penulis (Dyah P. Rinni, yang akhirnya berhasil saya rayu untuk ikut serta menghadiri acara tersebut), kami berangkat bersama dari bandara Soekarno Hatta di tanggal 1 Oktober 2012. Keberangkatan sengaja saya percepat, karena ada orientasi di tanggal 2 Oktober yang mewajibkan volunteer untuk hadir. Dan, Dyah setuju mengikuti jadwal saya.
Tibalah saatnya saya bertugas sebagai volunteer di Ubud Writers and Readers Festival 2012. Dimulai dengan orientasi tugas  pada tanggal 2 Oktober 2012. Saya baru sadar, kalau ternyata pilihan saya saat mendaftar tidak sesuai dengan harapan. Saya tidak bisa ditempatkan di Children and Youth Program, karena volunteer di sana sudah penuh.
Awalnya ada sedikit rasa kecewa setelah tahu bahwa saya ditempatkan di Main Program. Tapi setelah mendengar informasi dari Radhinka Basuki (Assistant Volunteer Coordinator), bahwa dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, materi yang digelar di Main Program selalu menarik dan bernas, rasa kecewa saya berubah menjadi penasaran.


Left Bank, di sinilah pertemuan pertama (orientasi) para volunteer digelar.
Base Camp Volunteer
  Selepas orientasi dan mengikuti pembagian program, saya pun bergabung dengan teman-teman volunteer lainnya yang ada di Main Program untuk saling mengenal dan memperkenalkan diri. Dari sekitar dua puluh orang yang tergabung di program ini, kami dipecah lagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tempat di mana kami akan bertugas. Tiga tempat itu adalah, Neka, Indus, dan Left Bank. Dan, saya kebagian bertugas di Indus.
       Setelah Doads, Supervisor di Main Program memberikan pengarahan, kami pun diminta untuk berdiskusi dengan anggota kelompok masing-masing untuk mengatur tugas dan apa-apa yang diperbolehkan serta tidak. Termasuk peraturan tentang larangan merekam, memotret, saat acara berlangsung.


            Di Indus Main Venue Program ada delapan Volunteer. Ada Dorothy Cormack (Supervisor Indus Main Venue), Zorah Wenham (Assistant Supervisor), Barbara Peters dan Margot Duel (Reception), Saya, Walid, Clorinda, dan Avicenna (Helper). Kami berdelapan inilah yang akan menggawangi dan membantu jalannya acara di Indus Main Program dari tanggal 4 – 7 Oktober 2012 dengan pergantian shift setiap harinya.
  
 
            Sebagai volunteer, tentu saja saya tak akan bercerita semua hal tentang Ubud Writers and Readers Festival, sebab informasi tentang itu pasti sudah bisa dibaca di website-website dan media lainnya. Di kesempatan ini, saya akan berkisah tentang bagian saya saja selama menjalani tugas sebagai volunteer.


Dengan Dorothy (supervisor saya di Indus)
            Hari pertama, saya mendapat shift pagi. Topik yang dibahas di jam saya bertugas adalah, “Opening The Book on Burma”, menghadirkan para pembicara/penulis luar seperti Guy Delisle, Ma Thanegi, Michelle Aung Thin dengan Moderator, Richard Lloyd Party. Selain menggelar acara talk show, di ruang depan setelah pintu masuk Indus, juga disajikan beragam buku yang menambah daya tarik peserta yang berkunjung.


         Dari topik dan pembicara yang mengisi sesi pertama di tempat saya bertugas sebagai volunteer, tiba-tiba muncul rasa penasaran saya pada kondisi tersebut. Sebagai seorang yang juga berkegiatan di dunia menulis, muncul rasa “cemburu” di hati saya. Rasa cemburu itu berwujud sebuah pertanyaan, “Mengapa tak ada penulis dari tanah air yang duduk berdampingan di meja Pemateri?” Namun, pertanyaan yang dilandasi rasa cemburu itu saya simpan baik-baik, sambil menunggu sesi-sesi berikutnya.
            Akhirnya di shift pagi hingga pukul 14.30 WITA, yang menggelar empat topik di masing-masing sesi, saya hanya melihat dua penulis Indonesia. Tentu saja tidak sebanding dengan dua belas penulis luar yang menjadi pembicara di Indus Main Program. Miris rasanya.
            Di hari kedua, saya sedikit terhibur dengan kehadiran Guntur Alam, namun tak bisa melegakan setelah menyimak ulasannya yang seperti tak tuntas saat membahas topik “All in the Family”. Penulis luar tetap menguasai arena. Namun, ada momen yang lumayan menghibur hati saya ketika itu. Saya sempat berkenalan dengan Bapak Drs. Ketut Suardana, M.Phil (Chairman Mudra Swari Saraswati Foundation). Dari bincang-bincang kami yang hanya sekejap itu, saya sempatkan menyampaikan pertanyaan, “Mengapa UWRF didominasi oleh penulis-penulis luar, padahal begitu banyak penulis-penulis tanah air yang mumpuni termasuk para penulis cerita anak?” Pak Ketut tak memberikan jawaban yang rinci, namun beliau membuka kesempatan untuk UWRF tahun mendatang. “Silahkan ajukan proposal atau karya yang bagus, namun kami tak bisa menjanjikan selain tiket dan akomodasi. Dan di situlah terkadang kendalanya, jika ingin menghadirkan penulis-penulis tanah air,” tegasnya. Saya belum puas mengobrol dengan beliau, tetapi beliau sudah harus menghadiri rapat.



            Saya tak patah semangat dan beruntung sekali, ternyata Janet De Neefe (Founder and Director UWRF) sekaligus istri dari Pak Ketut sering hadir di Indus. Saya beranikan diri untuk menyapanya. Kembali saya perkenalkan diri dan mengatakan bahwa saya tergabung di Forum Penulis Bacaan Anak. Janet memberikan kartu namanya. “Kalau kamu mau kirim e-mail ke saya, pleaaase... kontak saya jika lama tak dibalas,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan fasih. Tak heran, Janet sudah tinggal di Ubud sejak tahun 1984. Saya senang sekali mendengar nada “welcome” itu. Semoga tahun depan saya bisa hadir, tidak lagi sebagai volunteer, tapi bersama teman-teman penulis bacaan anak lainnya dengan kapasitas sebagai pembicara. Aamiin.


 
         Di luar jadwal volunteer, bersama teman sekamar, saya selalu menyempatkan diri menikmati pentas seni yang juga digelar di beberapa tempat. Dari mulai pemutaran film di Betelnut, menikmati street party dengan suguhan tari-tarian Bali, sampai pementasan teater di Lotus Stage – Puri Saraswati.

 
Pada hari terakhir, 7 Oktober '12, saat saya kembali mendapat shift pagi, ada rasa terhibur dan bangga melihat penulis perempuan yang masih muda, Astina Triutami yang tampil sebagai pembicara. Tina, penulis novel yang berjudul “Aku Bukan Budak”, memaparkan pengalaman yang melatarbelakanginya menulis novel tersebut. Astina menceritakan sekilas pengalamannya selama menjadi TKW di Hongkong. Selain itu dia juga mengkritik pemerintahan rezim Soeharto dan kesemena-menaan beberapa majikan dalam memperlakukan para TKW. 
 
Ternyata benar, Main Program menggelar tema-tema menarik selama acara berlangsung. Rasa kecewa saya semakin terobati. Apalagi ketika mendengar salah satu tema dengan judul, "After Harry Potter, What? The Emergency of the Young Adult". Di sini mereka membahas tentang "Apa yang mendorong kenaikan dan munculnya young adult genre dan siapa yang membaca? Sesi ini tak hanya dihadiri oleh peserta dewasa, anak-anak remaja pun ikut ambil bagian dalam sesi tanya jawab.


Dari buku panduan program, sebenarnya ada sekitar 140 penulis dari 30 negara yang ikut ambil bagian dalam UWRF. Indonesia diwakili para penulis seperti Ayi Jufridar (Aceh), Astina Abigail, Guntur Alam (mewakili Jakarta), Khrisna Pabichara, Muhary Wahyu Nurwa (dari Makassar), Indah P, Niduparas Erlang (dari Solo), Sunlie Thomas Alexander, Bandung Mawardi (Yogya), Arif Fitrah Kurniawan (Jawa Tengah), Romo Amanche (Kupang), Aprilia Wayar (Papua). Sisanya didominasi oleh penulis-penulis dari luar Indonesia. Tak apa, mungkin tahun-tahun mendatang formasi ini bisa diubah. Semoga.
Di kesempatan lain, saat saya tak bertugas, saya sempatkan memuaskan batin dengan berkunjung di Children and Youth Program. Alhamdulillah, saya sempat melihat kegiatan yang bertajuk, “Banner Making Workshop”. Di sini anak-anak diajak untuk menggambar dan melukis dengan tema “The Earth of Mankind: Bumi Manusia” yang menjadi tema Ubud Writers and Readers Festival 2012. Dipandu oleh Made Bayak, anak-anak semangat mengayunkan kuasnya di atas kain panjang yang drentangkan di depan mereka. 





                                           

 Lalu, di hari Sabtu, 6 Oktober, saya kembali menyaksikan kegiatan di Youth Program dengan tajuk, “Writing Your Story”. Sungguh, saat itu... hati saya kembali merasa “cemburu” melihat rekan penulis yang tampil di depan anak-anak remaja itu. Melihat kondisi ini, timbul obsesi saya, bahwa tahun depan semoga teman-teman dari Komunitas Penulis Bacaan Anak bisa memandu semua materi di Children and Youth Program. Itu harapan saya.


 
UWRF 2012 diakhiri dengan acara “Closing Night Party” yang digelar di Museum Antonio Blanco. Dalam sambutannya, Janet tak lupa mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh volunteer yang telah ikut membantu berlangsungnya acara tersebut. 
 
 Diam-diam, meski hanya sebagai volunteer, ada rasa bangga juga yang terbesit di hati saya. Tak peduli pendapat yang terkesan memandang kasihan kepada para volunteer (khususnya yang dari tanah air), bagi saya ini adalah pengalaman pertama yang banyak memberi kesan. Tak hanya pengalaman dalam menambah wawasan tentang menulis, tapi juga belajar memupuk rasa kekompakan antara volunteer dalam satu team yang notabene berasal dari negara dengan budaya berbeda. Meskipun tak semua menyenangkan, tapi pengalaman berharga ini bisa menepisnya.

 
Perpisahan pun tak bisa dielakkan. Sebelum benar-benar berpisah, kami sempatkan berfoto bersama teman se-team. Sambil memeluk saya, Zora mangatakan, “Nice working with you, Wylvera. Hope we can meet again next year.” Sambil membalas mendekapnya saya menjawab, “Yup! But hopefully I can attend as a speaker,” kata saya sambil melepas tawa di tengah hingar bingar suara musik di pesta penutupan itu. Zora mengangguk-angguk tanda setuju, karena saya sempat bercerita kalau saya juga penulis. [Wylvera W.]




21 komentar:

  1. keren, mbak. semoga keinginan tahun depan tercapai ya. aamiin :)

    BalasHapus
  2. Pengalaman yang luarbiasa keren dan menyenangkan ya mba. :)

    BalasHapus
  3. @Mbak Ila Rizky: Aamiin, makasih ya Mbak. :)

    @Mbak Hana: Thank you, Mak. ;)

    @Mira: Iya, jadi nambah banyak teman dan ilmu juga. :)

    BalasHapus
  4. Tahun depan, Mbak Wiwiek jadi pembicara, ya... Saya temani ;)

    BalasHapus
  5. Mbak Veronica: Wow! Ditemani sama Mbak Vero? Mau banget. Jadi tambah semangat ini, semoga berhasil ya Mbak. Makasih supportnya.:)

    BalasHapus
  6. waah, keren banget mbak. jadi pengen ikutan, :D
    [Aulia Manaf].

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. Makasih, Mbak Helda, tapi sayang obsesiku tahun ini utk kembali ke sana seperti akhir cerita di atas belum kesampaian. :)

      Hapus
  9. Mbak Wlyvera, pembukaan pendaftaran vounteer berapa bln sebelumnya? Tugas volunteer apa sj? dan volunteer mendapatkan apa? Tks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dibukanya, biasanya jauh-jauh harib sebelum hari "H" ya. Aku sendiri mendaftar seminggu sebelum diumumkan siapa-siapa yang lolos seleksi administrasi. Kalau tugasnya, seperti yang kuceritakan di atas. Kita membantu menyukseskan acara tsb. Membantu panitia inti agar acara bisa berjalan dengan baik. Apa yg didapat oleh volunteer, terutamanya pasti pengalaman berharga. Kalau bukan karena jadi volunteer, aku kan harus membayar untuk menyimak ragam materi di acara itu. Tapi, memang tdk ada uang saku. Semua kita tanggung sendiri. Bagiku, ilmunya itu yg penting. :)

      Hapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...