Kamis, 25 Oktober 2012

Belanja di Pasar Tradisional

(Mengumpulkan kisah-kisah ringan dari kehidupan nyata)

            Pagi itu pasar Rawa Lumbu lebih ramai dari biasanya. Maklum saja, setiap hari libur, seolah-olah semua anggota keluarga ingin berbelanja bersama, terutama pasangan suami istri yang sehari-harinya bekerja. Tapi, kebetulan saya sendiri tak ditemani suami. Hehe....
           Selesai membeli semua keperluan dapur yang sudah tercatat rapi sejak semalamnya, saya memilih rehat sebentar sambil menikmati lontong sayur si Ajo. Sambil menyantap semangkuk lontong sayur, saya kembali mengamati orang-orang yang lalu-lalang. Belakangan ini kegemaran saya bergeser jadi senang mengamat-amati, mencoba menyimak kehidupan orang kebanyakan.
      “Huuuuu…woaaa…gendong…gendong,” tangis seorang anak perempuan kira-kira berumur 3 tahunan sambil mengikuti ibunya.
       “Mamaaa…huuu…wooaa...gendooong!” teriaknya dengan tangisan yang lumayan keras. Sebagian orang menaruh perhatian, tapi sebagian tak peduli melihat pemandangan itu.
        “Enggak! Makanya disuruh tinggal di rumah, nurut! Badan segede itu minta gendong. Manja ah!” jawab sang ibu kesal tanpa menoleh ke belakang.
           “Gendooong!!!” kata si anak lagi lebih kencang.
         “Udah gendut minta digendong, gimana si kamu?! Ibu gak kuat, badan kamu itu gendut tau!” jawab si ibu semakin marah.                                                                                            
       Aku heran, mengapa ibu anak itu terus-menerus mengumpat masalah kegendutan si anak? Bukankah bobot si anak bertambah itu karena si ibu juga? Anak itu tumbuh subur, gendut dan padat berisi, karena ibunya berhasil memberikan makanan yang pas buat pertumbuhannya. Tapi, mengapa setelah menjadi gendut, si ibu malah seolah-olah menyesali dan bolak-balik seperti mengejek kegendutan anaknya?
          Tiba-tiba si anak menghempaskan badannya ke jalan.
        “Eeeeh malah duduk di jalan. Bu, anaknya ngambek tu!” teriak seorang ibu penjual ikan asin.
       “Biarin! Ditinggal biar tau rasa! Udah gendut, minta digendong lagi emangnya gak berat apa?!” kata si ibu acuh dan kembali mempersoalkan masalah yang sama, gendut.  
     “Dek, ditinggal mamanya itu...ayo berdiri.” Akhirnya aku tak kuat untuk sekedar jadi pengamat. Tapi, ada sedikit khawatir juga. Jangan-jangan ibu si anak tak senang dengan intervensiku. Namun, aku coba membujuk anak yg bertubuh subur itu.
       “Berdiri!!” Tiba-tiba si Ibu sudah berdiri di belakangku. Anak itu berdiri sambil melihatku. Kusempatkan mengelus kepalanya, karena dari tadi ibunya tak sempat melakukannya. Dalam hati aku berdoa, “Semoga amarah Mama mu gak berlanjut sampai di rumah ya dek.”
      Dari kejadian yang lumayan menyita waktuku untuk segera pulang, telah memberi satu pelajaran lagi. Bahwa, tak ada seorang anakpun yang merasa nyaman jika diperlakukan sekasar itu oleh orangtuanya, apalagi ibu nya sendiri. Ini mungkin saja akan membekas pada perkembangan jiwanya. Membujuk anak, tidaklah menjadi membuat harga diri kita jatuh di depan anak. Membujuk sesekali dibutuhkan agar anak merasa dilindungi dan diperhatikan, bukan seperti kejadian tadi.
         Satu hal yang membuatku bisa meng-introspeksi diri yaitu tentang julukan “si gendut” tadi. Kadang aku juga suka bercanda dengan anak perempuanku dengan menyebutnya “si bulat” dan anak laki-lakiku dengan mencandainya dengan sebutan “si culun.”
         Meskipun apa yang aku lakukan dalam konteks bercanda, bukan marah, namun tetap saja itu ternyata tak nyaman didengar. Aku harus melupakan untuk menyebut anakku bulat dan tetap memanggilnya “Mira” saja, atau culun dengan memanggilnya “Khalid” saja.

Bekasi, Maret ‘09
Dicopas dari MPku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...