Rabu, 28 Agustus 2013

Memberi Motivasi Menulis



Benarkah kegiatan menulis itu butuh motivasi? Kalau saya yang ditanya tentu jawabnya bisa iya bisa tidak. Untuk sebagian orang modal menulis bukanlah motivasi tetapi lebih pada inspirasi/ide. Namun, selebihnya justru membutuhkan motivasi untuk memulai menulis, sebab motivasi yang mereka dapat diharapkan mampu menggerakkan inspirasi/ide yang muncul.
Untuk  itu, beberapa waktu lalu saya telah memenuhi permintaan dari Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Ikatan Alumni dan Abituren Pelajar Pesantren AT-Thoyyibah Indonesia (IKAPPAI) Medan, Rumah Yuni Kreatif dan Rumah Fitrah untuk mengisi acara bertajuk “Menulis bersama Wylvera”, bertempat di gedung jurusan Analis Kesehatan Poltekkes, Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat no. 6 Medan.
Panitia meminta saya memberikan motivasi menulis kepada audience yang akan mendaftar menjadi peserta di pelatihan tersebut. Setelah melewati diskusi jarak jauh (Medan – Bekasi), akhirnya kesepakatan pun terwujud. Saya menyetujui tanggal pelaksanaan yang diminta oleh mereka yaitu 16 Agustus 2013. Kebetulan saya masih berada di Medan untuk menghabiskan libur mudik bersama keluarga. Sehingga menjadi pemateri di sebuah kegiatan pelatihan menulis tentu saja akan menjadi momen berkesan di suasana mudik saya kali ini.
Awalnya saya sedikit ragu untuk memenuhi permintaan itu, karena agak riskan rasanya menyelenggarakan pelatihan (apalagi pelatihan menulis) yang lumayan serius di suasana lebaran. 



Pagi itu sekitar jam sembilan pagi, ruangan yang telah ditata sedemikian rupa terlihat lengang seperti tak ada tanda-tanda akan digelar sebuah kegiatan pelatihan menulis. Ketika saya datang, saya hanya melihat beberapa panitia yang menunggu di meja dan buku tamu (untuk daftar hadir peserta), beberapa buku karya saya yang tersusun ‘anggun’ di atas meja, backdrop yang memuat foto saya terpampang manis di dinding beserta seperangkat infocus. Diam-diam saya menguatkan semangat untuk tetap memberikan materi meskipun nantinya hanya segelintir yang hadir.


Tetapi dugaan saya meleset. Kekhawatiran saya tidak terbukti, sebab begitu waktu bergerak maju ruangan yang hening tadi pun mulai terlihat semarak oleh kehadiran para peserta pelatihan yang rata-rata mengenakan hijab. Subhanallah... saya sempat menangkap sinar keantusiasan di mata mereka begitu memasuki ruangan. Senyum ramah dan hangat tak putus-putus menghampiri saya sebagai pemateri.
Acara yang seharusnya dimulai tepat pukul 09.00 pagi itu bergeser ke pukul 10.30. Itulah yang sempat membuat saya merasa cemas, namun semangat saya langsung menyala ketika melihat sekitar 35 peserta yang “duduk manis” dan siap menunggu materi menulis dari saya. Kekosongan waktu antara pukul 09.30 – 10.30 itu dimanfaatkan oleh moderator untuk saling berkenalan sambil menunggu yang lainnya hadir. Moderator meminta saya berbagi pengalaman dan latar belakang yang menginspirasi saya memilih profesi sebagai penulis, guru dan trainer. Dengan senang hati saya membuka cerita untuk menjawab semua yang ingin mereka tahu tentang saya di dunia menulis. 


Betapa senangnya saya ketika melihat mata mereka seolah tak mau berpaling sekejap pun demi menyimak pengalaman yang saya sampaikan. Apalagi ketika mereka tahu kalau saya lahir dan besar di kota Medan. Keakraban terasa begitu cepat menjalin kebersamaan kami. Lalu saya ceritakan kalau masa kecil saya justru tidak dimanjakan oleh buku-buku bacaan. Padahal saya suka sekali membaca waktu itu. Mungkin orangtua kami tidak terpikir menyediakan anggaran membelikan buku-buku cerita untuk saya karena kami bukanlah keluarga yang terlalu berlebih secara ekonomi. Namun, kebiasaan Papa saya yang suka mendongeng menjadi sebuah kenangan yang terus mengendap. Lagi-lagi saya mengatakan bahwa bukan tidak mungkin kalau kebiasaan mendengar dongeng itulah sebenarnya cikal bakal yang tersimpan di diri saya sehingga saya akhirnya terjun ke dunia menulis. 




Waktu begitu cepat bergerak. Sesi perkenalan dan membagi pengalaman akhirnya usai. Tibalah saatnya MC membuka acara pelatihan menulis secara resmi. Setelah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan IKAPPAI dan Ketua Rumah Fitrah memberikan sambutannya, saya pun siap berdiri di depan kelas untuk memulai materi menulis. Mulai dari motivasi menulis, tips agar tetap semangat untuk menulis, sumber ide, cara mengemas dan mengolah ide menjadi tulisan, unsur-unsur yang ada dalam tulisan atau cerita, sampai pada proses self editing, saya paparkan dengan rinci. Selain memberikan contoh-contoh, di tengah paparan sesekali saya melempar joke-joke ringan untuk memancing tawa mereka. Ruangan pun menjadi riuh ditingkahi tawa.


Saya tak lupa untuk bertanya apakah mereka masih tetap bersemangat untuk mengikuti dan menyimak materi dari saya. Jawabannya sangat memuaskan. Mereka masih tekun menyimak sambil sesekali mencatat bagian-bagian penting yang ingin mereka simpan sebagai panduan.
Ketika memasuki tengah hari (jam-jamnya lapar...hehehe), saya tak mau mengendurkan semangat mereka untuk tetap konsisten mengikuti kelas. Beberapa mata dan mulut yang mulai menguap itu tak boleh dibiarkan. Saya meminta mereka berdiri untuk bersama-sama melakukan penyegaran. Gerakan tangan dan jari itu bernama hujan deras dan gerimis. Sambil mengikuti aba-aba yang saya berikan, ruangan pun kembali segar dipenuhi gelak tawa kami.

Saat memasuki sesi tanya jawab, beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan, tentang cara mengatasi jika saat menulis tiba-tiba di tengah tulisan idenya mampet atau kehilangan gairah untuk meneruskan tulisan. Saya katakan bahwa proses menulis itu bukan instan dan harus langsung jadi. Penulis yang produktif sekalipun pasti pernah mengalami kebuntuan yang sering disebut dengan istilah writer’s block. Itu manusiawi dan tidak perlu langsung menjadi galau atau patah semangat. Namun, bukan berarti membiarkan kebuntuan itu berlama-lama. Boleh istirahat sejenak dari tulisan yang stuck itu, cari suasana segar supaya ide yang buntu tadi bisa dicairkan kembali.


Banyak cara, misalnya jalan-jalan (dalam artian ke luar rumah) mencari udara segar atau blogwalking alias jalan-jalan ke blog orang lain, membaca dan nonton. Siapa tahu, dari sana akan muncul kembali ide-ide segar. Dan, begitu terasa nyaman, kembalilah ke tulisan yang terhenti tadi. Lihatlah apa sebenarnya yang membuat tulisan kita buntu. Sudah tepatkah ide yang kita pilih untuk dijadikan sebuah tulisan? Sudahkan kita membuat garis-garis besar dari apa yang ingin kita tulis? Jika tulisan itu ingin menjadi cerita panjang, lupakah kita membuat plotnya? Jika jawabannya iya, maka itulah salah satu penyebab yang membuat kita bingung untuk melanjutkannya sebab kita belum memiliki guideline untuk tulisan kita.




Pertanyaan terus bermuncuulan dan saya tetap menjawab dengan semangat. Jika saja waktu tidak dibatasi rasanya tak habis-habis pertanyaan yang mereka ajukan. Luar biasa! Puji saya dalam hati. Begitulah, kebersamaan kami yang menghabiskan durasi sekitar 3 jam itu terasa begitu singkat. Banyak hal yang dipertanyakan kepada saya dan saya selalu berusaha memberikan jawaban yang mereka inginkan. Ini terbukti dari hasil tulisan yang mereka rangkai di sesi praktik. Betapa senangnya saya mendengar beberapa dari mereka membacakan tulisannya. Idenya begitu mengalir dan berjiwa. Saya sempat ragu dan menyimpan rasa penasaran. Tapi akhirnya saya lega setelah mendengar pengakuan dari mereka ketika saya menanyakan sesuatu.
“Wah, tulisannya bagus-bagus. Jangan-jangan semua yang ada di kelas pelatihan ini diam-diam memang penulis ya, jadi materi yang saya sampaikan hanya penyegaran saja sifatnya?” tanya saya sengaja ingin mendapatkan feedback yang pasti dari mereka.
“Tidaklah, Bu. Itu karena materi dan cara ibu menyampaikannya memang jelas dan rinci. Kami jadi langsung mengerti dan mempraktikkannya. Selama ini kami enggak dapat materi seperti yang ibu berikan. Ternyata jadi lebih gampang menulis itu ya,” jawab salah satu dari mereka.
Tidak hanya sampai di situ, panitia juga sangat royal membagi-bagikan hadiah. Tulisan-tulisan yang bagus diberi penghargaan lewat hadiah berupa goodie bag berisi buku dan suvenir lainnya.


Puas dan lega rasanya. Tiga jam berdiri dan memberi materi akhirnya berbuah manis. Peserta pelatihan juga antusias membeli buku-buku saya untuk ditandatangani. Sesi booksigning pun berjalan lancar dan seru.



Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada panitia yang telah mengundang saya untuk menjadi pembicara di pelatihan ini. Terima kasih juga buat bingkisan cantiknya. Jangan ragu untuk mengundang saya kembali di acara serupa ya. Hehehe....


Untuk semua peserta, terima kasih kebersamaannya. Teruslah menulis! Semoga materi menulis dari saya mampu memotivasi kalian, baik itu dalam menulis cerita maupun karya tulis lainnya. Salam. []

10 komentar:

  1. Pantas saja lama tak terlihat di Jakarta. Wow rupanya....Selamat Mak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, bersembunyi di kampung halaman ya Mak? Btw, thanks ya. :)

      Hapus
  2. Salam kenal mbak, bagus dan menarik sekali postingannya..

    BalasHapus
  3. aku selalu antusias jika ada seminar atau pelatihan kepenulisan, pernah ikut kegiatan FLP sidoarjo yang mengudang kang abik dengan bunda shinta, rasanya enerji untuk menulis langsung penuh. semoga bisa ketemu bunda vera ya,, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dengan mengikuti pelatihan atau seminar tentang menulis itu kita serasa di-recharge lagi ya. Aamiin, semoga. :)

      Hapus
  4. Keren mak...Salam kenal...

    www.jarilentikyangmenari.com

    BalasHapus
  5. Keren bu pengalamannya, bisa dipraktikkan untuk nanti sharing sama rekan-rekan saya lainnya. Menulis yang menjemukkan menjadi asyik ketika dibalut sama joke dan ice breaking :)

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...