Rabu, 20 April 2016

“Selamat Ulang Tahun, Bu....”



 

            Ibuku sudah berjam-jam duduk di sudut ruang keluarga. Kursi goyang yang diduduki Ibu sesekali mengeluarkan derit. Lampu meja di sebelah kursi goyang itu tidak mampu menerangi seisi ruangan. Wajah Ibu hampir tidak terlihat olehku. Hanya tarikan napasnya yang berat berulang-ulang terdengar.
            ”Aku hidupkan lampunya ya, Bu,” ujarku sedikit mengejutkannya.
            ”Jangan, biarkan remang-remang saja,” balas Ibu sambil membetulkan posisi duduknya.
            ”Hampir empat jam Ibu duduk di situ. Ini sudah larut malam. Aku khawatir Ibu jatuh sakit,” kataku lagi mencoba mengingatkan Ibu.
            ”Sakit? Aaah ... untuk umur setua ini, sakit bukan ancaman buat Ibu. Ada yang lebih mengkhawatirkan daripada kecemasan jatuh sakit.
            ”Ada apa sebenarnya, Bu?”
            ”Sudahlah, pergi tidur sana. Sebentar lagi Ibu juga akan tidur.”
Aku terdiam dan kembali duduk di sofa. Aku mencoba mengingat-ingat sikap Ibu yang agak aneh beberapa hari ini. Ibu seperti menyimpan beban pikiran yang sangat berat. Helaan napas yang berulang-ulang membuatku sulit membiarkannya duduk sendirian, menghabiskan malam. Aku memilih menunggu Ibu masuk ke kamar.
Akhir-akhir ini, aku jadi sering mencuri-curi pandang ke arah Ibu. Wanita kesayanganku ini memang mulai terlihat tua. Rambutnya hampir semua memutih. Kerut-kerut di wajahnya semakin melengkapi.
Ibuku sudah lama menjanda. Ayahku meninggal sepuluh tahun yang lalu. Saat itu usia Ibu masih 45 tahun. Ibu dan almarhum Ayah sama-sama berprofesi sebagai guru. Kata Ibu, Ayahku adalah kekasih pertama yang dicintai dan menikahinya. Ibu tidak pernah jatuh cinta sebelumnya.
Sejak Ayahku meninggal, Ibu terlihat sangat kehilangan. Mungkin rasa rindu itu yang membuat Ibu lebih cepat menua. Ketahanan fisik Ibu kian menurun. Namun, aku tidak pernah mendengar Ibu mengeluh. Semangat yang besar membuat Ibuku selalu terlihat tegar. Perannya sebagai single parent, tidak pernah terkesan membebani.
Waktu itu, aku dan kakakku pernah membujuk Ibu untuk menikah lagi.
”Kalau Ibu merasa kesepian, kami rela Ibu mencari pendamping lagi,” ujar Kak Tia mengajukan saran saat itu.
            ”Ibu masih cantik. Aku dengar, Pak Hadi juga masih menduda kan, Bu?” tambahku pula.
Ibu mengangkat wajahnya. Sorot matanya berubah tajam menatap kami bergantian. Aku menunduk, tidak berani membalas tatapan Ibu.
            ”Tidak! Ibu sudah tua. Tahun depan sudah 50. Tak usah memikirkan ide seperti itu. Ibu tak perlu laki-laki sebagai pendamping lagi!” suara Ibu terdengar meninggi.  
Aku dan Kak Tia sontak terdiam. Sejak itu, kami tidak pernah lagi berani menanyakan hal yang sama kepada Ibu. Sampai Kak Tia memutuskan menikah, lalu pindah dan punya rumah sendiri, Ibuku tetap menjanda. Akulah yang masih setia menemani Ibu di rumah kami ini.
Lamunanku terhenti. Ibu bangkit dari kursi goyang yang terbuat dari kayu jati itu. Tanpa melirikku, Ibu melangkah menuju ke kamar. Kubiarkan Ibu menutup pintu kamarnya. Beberapa saat aku menunggu, memastikan kalau Ibu tidak keluar lagi. Setelah itu, aku pun beranjak menuju kamarku.
Mudah-mudahan Ibu bisa terlelap memanfaatkan waktu yang tersisa,” harapku sebelum ikut merebahkan diri.
*
            Di mataku, Ibu adalah wanita yang tangguh. Sejak dulu, Ibu selalu siap memberikan jiwa dan pikirannya jika kami membutuhkannya. Kami juga selalu menjadikan sosok Ibu sebagai contoh teladan. Bahkan aku sering mengatakan kalau Ibuku seperti Ibu Kartini. Aku hapal sekali kalau Ibuku juga mengagumi pahlawan emansipasi perempuan itu.
            Jangan hanya terampil memakai atribut Kartini, seperti kebaya dan sanggulnya saja. Cobalah memaknai lebih dalam lagi tentang segala macam yang pernah dikenakan Kartini. Semangat perjuangannya lebih dari sakadar kebaya dan sanggul.
Kata-kata itu selalu diucapkan Ibu jika kami ikut merayakan hari Kartini di sekolah waktu itu.
Sejak kami kecil, Ibu selalu meninggalkan kami untuk memenuhi kewajibannya mengajar. Namun di mataku, Ibu bukanlah wanita karir yang tidak peduli dengan keluarga. Walaupun sibuk dengan kegiatan mengajar di sekolah, Ibu selalu menitipkan hati dan perasaannya di rumah.
Ibuku tidak pernah lalai menanyakan tugas-tugas sekolah kami. Ibu juga selalu mendiskusikan semua perkembangan kami dengan Ayah. Aku paham, kalau semua yang dilakukan Ibu semata-mata hanya untuk keberhasilan kedua anaknya.
Ibuku juga aktif di beberapa organisasi. Ibu selalu memberikan pencerahan kepada orang-orang yang dekat dengannya, terutama kaum perempuan. Aku ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika Ibu pernah diundang dalam peringatan hari Kartini di kelurahan. Ibu didaulat untuk memberikan ceramah di acara itu. Ibu menutup orasinya dengan kata-kata yang menggetarkan hatiku.
            Wanita  tidak  boleh lemah dan bodoh. Kartini saja  yang  hidup di zaman susah, masih bisa membuka cakrawala. Mengapa kita yang hidup di era yang sudah sedemikian maju tidak ingin merubah apa-apa? Ibu-ibu jangan minder kalau tidak bisa sekolah tinggi. Tanpa melakukan apa-apa, gelar sarjana tak ada artinya. Tak ada kata terlambat, lakukan dari hal-hal yang kecil. Mulailah dari dalam rumah, keluarga, dan anak-anak kita!
Aku yang ikut mendampingi Ibu waktu itu, turut merasa kagum dan terharu di riuhnya tepuk tangan hadirin. Ibu tidak hanya pandai menulis dan berpidato. Ibu  terampil mewujudkan dan merealisasikan semua yang dikatakannya dalam kehidupan kami.
Ibuku pernah bercita-cita ingin menjadi dokter. Namun, setamat dari Sekolah Menengah Pertama, Ibu melupakan cita-citanya. Ibuku memilih menjadi seorang guru. Sampai saat ini, aku belum sempat menanyakan alasan Ibu mengubah cita-citanya itu.
Sekarang, akulah yang meneruskan cita-cita masa kecil Ibu. Aku sudah menjadi dokter umum. Ibu meginginkanku untuk melanjutkan mengambil spesialis bedah syaraf. Awalnya aku menolak, karena aku tahu biaya untuk itu tidak sedikit. Ibu terus-menerus membujukku. Kakakku juga meyakinkanku dan berjanji untuk ikut membantu biaya kuliah. Aku pun menyerah.
Tidak lama lagi, gelar spesialis akan segera tersemat di namaku.  Semua berkat Ibu. Tidak pernah habis waktu bagiku untuk mengagumi Ibu. Kemampuan Ibu dalam merangkai kata-kata yang sarat dengan makna, menjadi bagian kekagumanku. Kalimat-kalimat penyemangat itu masih tersimpan rapi dalam buku catatannya. Buku itu sengaja diletakkan Ibu di meja kerjanya. Ibu tidak pernah keberatan kalau sesekali aku membaca tulisannya.
Buku catatan itu diberi judul sampul ”Catatan Kecil Seorang Guru” oleh Ibuku. Aku sangat menyukai salah satu tulisannya.
            ”Seorang perempuan harus mampu menghadapi setiap tantangan hidup. Perempuan harus kuat, cerdas dalam berpikir agar tidak gampang dibodohi. Tapi semua ini tetap harus disandarkan kepada kekuatan Yang Maha Tinggi yaitu kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Seimbangkan hati dan pikiran dengan nilai-nilai spiritual agar tak mudah digoyah oleh pemikiran yang salah dan menjerumuskan.”
            Ah, Ibu ....
*
            Hari ini hari Minggu. Aku sedang menunggu Ibu. Banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya. Namun, Ibu sudah pergi sejak jam sepuluh pagi tadi. Katanya ada rapat mendadak di sekolah. Aku diminta menjaga rumah sampai Ibu kembali. Aku harus sabar menunggu.
Pandanganku bolak-balik tertuju pada cuaca di luar rumah. Langit di atas sana mulai gelap. Aku khawatir akan turun hujan. Kupilih duduk di kursi goyang yang biasa digunakan Ibu. Tirai jendela sengaja kubuka lebar-lebar.  
Lamunanku kembali bergulir.
Suatu hari, Ibu pernah bertanya tentang pacarku. Aku jelaskan kepada Ibu, kalau kuliahku di fakultas kedokteran saja sudah sangat menguras pikiran.
            ”Nanti setelah aku meraih cita-cita itu, aku akan bawa kepada Ibu laki-laki yang akan menjadi pendampingku,” jawabku waktu itu.
Tiba-tiba, suara petir yang menjilat permukaan jalan beraspal di depan rumahku begitu megejutkan. Sesaat setelah itu, hujan deras pun tercurah dari langit. Ibuku belum juga pulang.
Aku masih tidak ingin beranjak dari sisi jendela. Perhatian kualihkan sejenak pada kalender yang tergantung di tembok dekat tempatku duduk. Pantas saja Ibu pulangnya lama. Ternyata besok tanggal 21 April. Ibu dan teman-teman gurunya pasti sedang sibuk merencanakan sesuatu untuk memperingati Hari Kartini.
Sambil menunggu, kualihkan ingatan pada deretan kenangan tentang Ibu. Masih ada goresan tangan Ibu yang membuatku kagum.
            ”Kalau ingin meneruskan perjuangan Ibu Kartini, bukan dengan hanya mengelu-elukan emansipasi perempuan. Banyak kaum perempuan saat ini yang berdiri sejajar dengan kaum pria, tapi tak sedikit juga yang lupa akan kodratnya. Pangkat atau jabatan jadi tidak berarti, jika hanya akan mengorbankan keluarga, terutama suami dan anak-anak kita. Yang diinginkan Ibu Kartini terhadap kaum perempuan adalah kecerdasan  lahir dan batin. Kecerdasan yang bisa menyelaraskan antara karir dan rumah tangga, tanpa meninggalkan hakikat sebagai perempuan yang sadar akan kodratnya.”
Kriiing ...! Kriiing ...!
Dering telepon sontak mengejutkanku. Terburu-buru aku bangkit dari kursi goyang milik Ibu. Entah apa yang membuatku gugup mengangkat gagang telepon.
            Halo, ini Dek Ning, ya?” suara di seberang sana begitu tergesa-gesa.
            ”Ya, benar,” jawabku mulai cemas.
            Saya Hadi. Ibumu tadi pingsan, Dek. Langsung kita bawa ke rumah sakit terdekat.”
Jantungku seakan berhenti. Kututup telepon dan segera mengabari Kak Tia. Aku bergegas mengeluarkan sepeda motor. Tak peduli hujan, kutembus jalanan yang basah menuju rumah sakit.
Jalan menuju rumah sakit tidak terlalu padat. Dalam dua puluh menit, aku sudah sampai. Kuparkirkan kenderaan. Kegugupan mengganggu gerakku. Aku berlari seperti orang kebingungan, mencari informasi ruangan tempat Ibuku dirawat.
Ibu ada di ruang Intensive Coronary Care Unit. Sudah ada Kak Tia dan suaminya di depan pintu ruangan itu. Aku tidak bisa menahan perasaan khawatir yang sejak tadi sudah sempurna menguasai hatiku. Kupeluk Kak Tia erat-erat. Kami sama-sama merasakan ketegangan.
Sebagai dokter, aku ingin sekali membantu menyembuhkan ibuku. Aku tidak ingin sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi padanya.
             ”Keluarga Ibu Kartini?”
            ”Ya!” kami serentak menjawab.
            ”Silahkan masuk, dokter ada di dalam.”
Tanganku gemetar menarik handle pintu ruang ICCU itu. Segala kemungkinan berjejal di kepalaku. Aku tidak ingin kehilangan Kartiniku. Aku masih sangat membutuhkan Ibu.
Tapi ....
            ”Ibuuu ...!” jeritku dan akhirnya gelap.
*
            Hari ini adalah hari pemakaman ibuku. Langit kembali mendung seperti kemarin. Aku masih mengingat cerita Pak Hadi saat aku tersadar di depan ruang jenazah. Ibuku terjatuh ketika menaiki anak tangga di sekolah. Ibu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter sudah berusaha. Namun ibuku tidak pernah bangun kembali. Tuhan lebih menyayanginya.
Lamunan ibuku beberapa hari kemarin, bagaikan pertanda. Inilah jawabannya. Bahkan ibuku sendiri tidak sempat berbagi tentang lamunan itu padaku. Semua keresahan yang ia rasakan, dibawa hingga menjelang akhir hayatnya. Tinggal fatwa-fatwa Ibu yang akan selalu mengendap dan menjadi tuntunan bagiku.
“Selamat ulang tahun, Bu. Semoga Tuhan menempatkan Ibu di tempat yang paling indah di sana. Ibulah Kartini yang sesungguhnya bagiku.” [Wylvera W.]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...