Senin, 22 Agustus 2016

Menjadi Ibu yang Menyenangkan



(Foto: pixabay.com)
        Menjadi seorang Ibu yang menyenangkan adalah impian bagi perempuan yang sudah memiliki anak. Namun, tidak semua Ibu bisa melakukannya. Lihat saja di luar sana. Selalu ada saja anak yang tidak bisa hormat pada ibunya. Menganggap Ibu hanya sebagai perempuan yang sekadar melahirkannya ke dunia. Namun, jangan buru-buru menyalahkan anak. Mengapa Ibu dianggap tidak menyenangkan oleh anak-anaknya? Bisa jadi, kebiasaan dan karakter yang Ibu tampilkan dalam mengasuh anak-anaknya, tidak membuat mereka nyaman.
Bagaimana cara menggapai impian menjadi Ibu yang menyenangkan dan disenangi oleh anak-anaknya? Ada sebuah kewajiban yang semestinya tidak boleh diabaikan atau menganggapnya biasa-biasa saja. Dan di ujung kewajiban pasti selalu menunggu sebuah kata yang bernama tanggung jawab. Hal ini tak bisa lepas pada urusan hitung-hitungan di hari akhir kelak. Bukan dengan manusia tapi dengan Sang Khaliq.
Menyadari kewajiban tersebut, sebagai seorang Ibu saya pun merasa selalu ada yang mengawasi, jika saya salah melakukan tanggung jawab itu. Untuk itu, saya berusaha keras agar kelak tidak diberatkan oleh hitungan yang salah dalam mempertanggungjawabkannya di hadapan Al Hasiib (Yang Maha Membuat Perhitungan).
Berat? Memang. Sebab, tidak semua hal baik-baik yang saya inginkan sebagai Ibu dari anak-anak, akan selalu saya dapatkan. Semua butuh proses. Ada yang lama ada yang cepat, dan ada pula yang berubah-ubah. 

Mira dan Khalid beberapa tahun silam
            Saya sudah melewati masa-masa memiliki anak balita. Sesekali saya juga pernah merasakan kelelahan dalam mengurus anak-anak saya. Kelelahan tersebut umumnya lebih pada fisik. Sebab, anak-anak saya yang masih balita butuh pengawasan lebih pada gerak motorik, gizi dan kesehatannya, serta segala kebutuhan untuk tumbuh kembangnya. Dalam masa itu, saya butuh energi lebih dalam mengawasi kedua buah hati. Terjaga di malam hari bukan lagi kondisi yang langka bagi saya. Apalagi jika anak-anak sedang sakit. Kelelahan itu pasti akan menyertai hari-hari saya.
Begitu pula dalam mempersiapkan makanan yang bergizi untuk mereka. Saya harus ekstra mencari tahu apa saja yang pas untuk tumbuh-kembang mereka. Memasak, merapikan bekas mainan, membersihkan pakaian mereka, dan ragam rutinitas tentu akan membuat capek. Yang akhirnya saya menyadari bahwa itu lumrah. Idealnya, saya tidak ingin mengeluh untuk melakukan tanggung jawab ini.

Menikmati setiap fase itu ....
            Seiring dengan pertumbuhan anak, maka kelelahan saya ikut bergeser pula. Jika anak sudah beranjak remaja, pendampingan dan pengawasan saya sebagai Ibu tidak lagi terbatas pada hal-hal ketika anak-anak saya masih balita. Mereka sudah punya dunia lain di luar rumah. Pergaulannya tentu tidak lagi sama seperti zaman TK atau SD.
Ketakutan bahwa anak akan salah langkah dalam pergaulannya, menjadi satu hal yang terkadang mampu menguras energi tidak di bagian fisik tapi pikiran. Anak yang sudah remaja tidak bisa lagi sekadar diajak bermain seperti waktu balita. Maka peran saya akan meningkat pada pendampingan ala seorang teman dekat. Menjadi teman diskusi bagi anak, mengawasi dengan memberikan tanggung jawab, atau bahkan masuk ke dunia mereka jika memang dibutuhkan. Semua itu semata-mata agar mereka merasa nyaman serta tidak melupakan posisi ibunya sebagai prioritas dalam berbagi berbagai hal dan permasalahan.   

Bersama Kakak Mira
Bersama Khalid

            Ibu mana yang tidak ingin menjadi idola bagi anak-anaknya? Saya juga menginginkannya. Alhamdulillah, memiliki sepasang anak yang keduanya sudah menjadi remaja, membuat saya selalu merasa bahagia menjadi seorang Ibu. Sejak mereka kecil hingga sekarang dan Insya Allah di hari depan nanti, tidak ada satu masalah yang benar-benar membuat hubungan kami berantakan. Meskipun sesekali ada kendala, alhamdulillah … selalu terlerai dengan bijaksana.
Sebagai Ibu, perjalanan dan perjuangan saya agar selalu menjadi sahabat yang menyenangkan buat kedua anak saya masihlah panjang. Anak pertama saya saja baru masuk di perguruan tinggi, sementara adiknya masih kelas 2 SMA. Proses untuk terus menjadi Ibu yang menyenangkan, tentunya tidak selesai sampai di fase ini saja. Proses itu pula yang saat ini sedang dan terus saya nikmati.

Insya Allah, always full of love .... ^_^
Saya pernah ditanya oleh teman yang kebetulan masih memiliki anak balita. Entah apa yang ia lihat dari kebersamaan saya dengan kedua ana-anak saya. Menurutnya, saya dan anak-anak itu terlihat begitu kompak. Lalu, ia pun menanyakan rahasianya. Lama saya simpan jawaban ini, sebab malu rasanya mendahului para senior yang anaknya sudah berkerja, bahkan sudah menikah dan punya cucu.
Namun hari ini akhirnya saya tergoda juga untuk berbagi. Mungkin terlalu sederhana dan sudah banyak diparktikkan para Ibu lainnya. Tapi, niatnya hanya untuk saling berbagi agar kita bisa menjadi Ibu yang menyenangkan buat anak-anak kita.

Menjadi Ibu yang bijaksana
            Menjadi Ibu yang bijaksana itu relatif bagi setiap anak dan ibunya. Sebab masing-masing anak dan ibunya tentu punya patron sendiri-sendiri. Kalau saya, simpel saja. Berusaha tidak mudah marah atau menyalahkan anak jika mereka melakukan kesalahan. Saya selalu menanyakan penyebab mereka melakukan kesalahan tersebut. Jika mereka melakukannya karena lupa, tidak sengaja, atau bahkan tidak tahu kalau itu salah, saya berusaha tidak akan menghukum mereka. Cukup mengingatkannya saja dengan contoh-contoh yang bisa mereka pahami.

Menjadi Ibu yang jujur
            Mustahil rasanya Ibu menuntut anak untuk selalu jujur kalau dirinya sendiri sulit berbuat jujur. Kejujuran itu buat saya tidak bisa didoktrin ke anak, melainkan mencontohkannya dengan perbuatan. Dari sikap dan perbuatan yang senantiasa menjunjung tinggi kejujuran inilah, saya meyakini bahwa kedua anak saya berusaha meniru dan takut untuk berbohong. Tidak hanya tentang kejujuran, banyak prilaku dan adab lainnya yang perlu dicontohkan oleh perbuatan Ibu, ketimbang hanya memberikan ceramah panjang lebar ke anak-anak. Saya berusaha melakukan itu dengan penuh ketulusan.

Menjadi Ibu yang tegas bukan sarkas
            Waktu anak-anak saya balita, ketegasan yang kerap saya lakukan adalah jika mereka tiba-tiba bertengkar gara-gara memperebutkan mainan. Si Kakak terkadang merasa lebih berkuasa dari adiknya sehingga ia merasa berhak memarahi adiknya sampai menangis.Saya marah? Iya, tapi tetap berusaha tidak membuat mereka "takut" melihat saya.
Peran saya dalam kondisi pertengkaran ini persis seperti wasit tapi tidak dengan tujuan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demi menenangkan si Adik, saya biasanya berusaha mencari alternatif mainan lainnya untuk diberikan. Jika si Adik sudah tenang, saya pelan-pelan mengajak si Kakak ngobrol dalam bahasa anak seusianya. Menjelaskan kepadanya bahwa posisinya sebagai kakak bukan berarti ia lebih berkuasa dari adiknya. Justru ia harus belajar menjadi pelindung buat adiknya. Namun, cara menjelaskannya pun saya usahakan hati-hati sekali, agar si Kakak tidak merasa perannya sebagai kakak justru terbebani oleh sikap harus selalu mengalah. Intinya saya tegas tapi berusaha kreatif menciptakan sebuah contoh sederhana. Alhamdulillah, meskipun tidak instan, perlahan-lahan ini membuahkan hasil.

Menjadi Ibu, teman diskusi, dan pendengar yang baik
            Saya tidak begitu kesulitan untuk menjadi Ibu dan teman buat kedua anak saya saat mereka masih balita dan anak-anak. Banyak hal yang bisa membuat kebersamaan kami menyenangkan. Selain mereka seolah memahami bahwa kendali lebih besar di saya, mereka juga lebih menurut dan enjoy. Berbeda setelah mereka beranjak remaja. Beberapa kebiasaan baru pun bermunculan tanpa saya duga.
Cerita tentang pergaulan bersama teman-teman sekolah yang tidak hanya sekadar bermain lagi seperti zaman TK dan SD pun mulai mereka bagi. Ketidaksukaan mereka pada sesuatu yang saya pilihkan terkadang menjadi masalah yang muncul secara tiba-tiba. Dalam kondisi ini memang tidak selalu berakhir dengan mulus secara cepat. Bahkan sesekali menemukan jalan buntu yang membuat saya dan anak-anak berdebat dan saling mempertahankan argumen masing-masing.
Untunglah, saya bukan tipe Ibu yang nyaman berlama-lama pada kondisi saling marahan dengan anak. Oleh karena itu, saya tidak bisa diam untuk bertahan membiarkan suasana keruh di antara kami. Saya kembali berusaha belajar memahami perubahan fase mereka. Seperti apa dunia remaja dan kebiasaan-kebiasaannya, trend apa yang sedang menjadi pembicaraan di luar sana, dan hal lainnya, menjadi pertimbangan saya untuk mencari tahu. Upaya ini saya lakukan agar saya tidak lagi memaksakan kehendak pada mereka. Kecuali jika pilihan mereka bertabrakan dengan norma dan agama. Saya akan ajak mereka lagi-lagi berdiskusi dan mencari panduan yang tepat. Biasanya saya ingatkan mereka pada ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist-hadist yang relevan dengan itu.
Sebagai Ibu, saya juga tidak memaksakan agar anak-anak saya harus selalu mendengarkan kata-kata saya. Ada kalanya saya hanya diam menyimak cerita-cerita mereka. Saya tidak akan menjelma menjadi sosok yang tiba-tiba sok bijaksana dan tahu segalanya. Sesekali justru saya yang memosisikan diri menjadi pendengar yang baik. Intinya saya selalu berusaha menciptakan komunikasi yang “hidup” di antara kami.
           
Menjadi Ibu yang tidak pelit memuji         
            Mungkin masih ada Ibu yang malu dan terkadang gengsi memuji dan menyatakan sayang dan cinta pada anaknya. Padahal, kata-kata pujian dan ungkapan kasih dan sayang itu bisa menjadi asupan "gizi" untuk tumbuh kembang psikis mereka. Saya selalu percaya ini, sehingga walaupun marah, saya hampir tidak pernah lupa mengakhiri kemarahan dengan mengatakan, “Ibu marah sama kalian ini bukan karena Ibu benci, tapi justru karena Ibu terlalu sayang sama kalian.” Atau jika mereka melakukan hal yang baik, saya tidak segan-segan melontarkan pujian, “Kereeen…! Hebat ih!”
Jika sedang ada rezeki berlebih, prestasi dan usaha mereka yang telah membuahkan hasil yang baik, saya tidak hitung-hitungan untuk memberikannya hadiah. Tidak harus mahal. Dengan menraktir makan siang, makan malam, membelikan buku favorit mereka, atau nonton bareng saja, saya sudah bisa melihat binar bahagia di mata mereka. Dan binar itu tidak bisa dinilai dengan angka-angka.
            Itulah beberapa hal yang selama ini saya lakukan untuk kedua anak saya. Lalu, apakah saya sudah cukup menyenangkan buat mereka? Biarkan mereka yang menjawabnya. Yang terpenting, saya takkan pernah berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang buat mereka sampai kapan pun. Dan, alhamdulillah, hingga hari ini dan Insya Allah sampai kapan pun, saya masih selalu merasakan kasih sayang mereka buat saya. [Wylvera W.]

           
               

20 komentar:

  1. Waah keliatan banget kompaknya, Mbak. Makasih tips dan sharingnya, ya. Beberapa sudah saya lakukan. Semoga bisa terus belajar menjadi ibu yang menyenangkan. Aamiin

    BalasHapus
  2. Terima kasih utk sharingnya. Tulisan seperti ini sangat saya butuhkan utk mendampingi anak saya yg kini masih batita.

    BalasHapus
  3. waaah, anaknya sudah abg semua ya mbak .. trima kasih tipsnya, jadi pelajaran buat aku

    BalasHapus
  4. TFS mba, semoga saya bisa jadi ibu yg menyenangkan jg buat anak2

    BalasHapus
  5. Hikss... Ingin jd ibu yg menyenangkan, setiap diniatkan selalu terjadi kehebohan

    BalasHapus
  6. Saya percaya tips dari Kak Wiek ini sebab terbukti Kak Yasmin dan adiknya berhasil dalam akademis dan budi pekertinya.
    Saya mau belajar menerapkan ini Kak hehehe

    BalasHapus
  7. Makasih sharingnya, Kak Wik. Salut liat anak hasil didikan Kak Wik. Hebat2. Moga saya juga bisa menjadikan anak2 menjadi pribadi hebat, seperti Kak Wik :-*

    BalasHapus
  8. Benar - benar ibu yang sangat kompak dengan anaknya ya :D

    BalasHapus
  9. kasih ibu memang sepanjang masa ya bun, ibu aku juga gitu, mendidik dengan sepenuh hati walaupun kadang anak2nya bandel, btw si khalid umur brp bun?

    BalasHapus
  10. Pengetahuan yang sangat bermanfaat yang mestinya diketahui oleh ibu-ibu semua. Sayangnya masih banyak ibu yg gak sadar sehingga enggan belajar & menambah pengethuannya sebagai seorang ibu

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  12. Keren sekali sharingnya, Bunda! Artikel ini bermanfaat sekali buat para ibu terutama aku yang sedang belajar untuk terus menjadi ibu yang baik dan menyenangkan. Suka sekali dengan kata Bunda bahwa tak perlu memberikan ceramah panjang lebar untuk mengajarkan hal baik kepada anak, namun berikanlah contoh perbuatan. Kata-kata bunda inilah yang membuatku berpikir dan melakukan evaluasi diri, sudah berapa sering aku memberikan contoh dan teladan yang baik untuk anakku? Jika anak mulai menampakkan hal yang kurang baik, maka hal pertama yang harus dilihat dan ditanyakan adalah ibu. Sudahkah memberikan contoh dan teladan yang baik?

    Terima kasih banyak bunda untuk sharingnya...semoga bermanfaat untuk para ibu yang sedang berjuang menjadi ibu terbaik dan menyenangkan untuk anak-anaknya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaallah ... tabarakallah.
      Makasih, Mbak Roisya. Semoga mencerahkan sedikit yang saya bagi ini ya. Aamiin. :)

      Hapus
  13. Semoga bisa kayak keluarganya kak Wyk ya, selalu kompak.

    Isi artikel ini membuat saya untuk mengoreksi apa yang kurang dari cara pengasuhan yang saya lakukan selama ini.

    Terima kasih kak Wyk, saya jadi punya cermin...hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaallah ... tabarakallah.
      Makasih juga ya, Wid sudah mampir ke sini. :)

      Hapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...