Minggu, 30 Desember 2012

Sekolah Sampah, Inspirasi untuk Berbagi



Saya bersama Sari
                     Namanya Wahyu Katri Ambar Wulan Sari. Cukup panjang, namun  wanita cantik yang sangat bersahaja ini lebih akrab dipanggil Sari. Saya belum lama mengenalnya, tapi sosok Sari telah tersebar di berbagai media. Dalam rangka memperingati Hari Ibu, saya ingin berbagi kisah dedikasi Wulan Sari terhadap anak-anak pemulung di tengah gunungan sampah Bantar Gebang, Bekasi kepada pembaca Insani.

 Berawal dari dongeng Bapak di masa kecil.
            Sambil duduk mencabuti uban sang Bapak, Sari menyimak dongeng yang berkisah tentang kemanusiaan yang kerapkali disampaikan ayahnya.  Hal ini memancing imajinasi Sari dan menyentuh nurani kekanakannya. “Itu dahsyatnya sebuah dongeng. Bapakku dulu suka mendongeng dan dongengnya kebanyakan yang melas-melas tentang orang-orang miskin. Sampai aku sering nangis Mumbay mendengar dongeng Bapak,” begitu ujarnya mengenang masa kecil.
Selain itu, sang Bapak juga suka melakukan tindakan kemanusiaan seperti, menampung anak-anak yatim dan orang yang tak mampu di rumah. Ada yang dijadikan sopir sampai diberi modal usaha. Karena melihat kebiasaan orangtuanya inilah, lama kelamaan empati Sari tumbuh.  
Sari juga sering dikirim orangtuanya ke Jogja untuk menghabiskan waktu liburnya. Di kota budaya itu, Sari pun banyak bersentuhan dengan orang-orang tak mampu, termasuk para pemulung. “Kalau boleh bertukar nasib, orang-orang seperti para pemulung itu tentu ingin sekali seperti kita, Mbak,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca dan helaan nafas dalam.

Empati itu nyata dan menuai tindakan mulia.
            Berawal pada tahun 2000 di Malang, saat itu Sari sudah mulai bergerak mewujudkan impian masa kecilnya untuk berbagi dengan orang-orang miskin. Sari mendatangi anak-anak tak mampu itu sampai ke pinggiran-pinggiran kali/sungai untuk disekolahkan. Semua dilakukan Sari dengan hanya menyisihkan uang belanja yang diberikan suaminya.
            Tahun 2006, Sari dan keluarga hijrah ke Bekasi. Ada kegundahan terbesit di hatinya, karena harus meninggalkan anak-anak asuhnya di rumah penampungan miliknya di Malang. Akhirnya, Sari berhasil bekerjasama dengan sebuah yayasan untuk menyambung mengurusi anak-anak tersebut, dengan jaminan bahwa rumah penampungan milik Sari boleh ditempati oleh yayasan yang kantornya masih mengontrak saat itu. Ini dilakukan Sari agar pihak yayasan bisa langsung memantau anak-anak asuhnya yang berjumlah lebih dari sepuluh orang beserta para janda di rumah tersebut. “Simbiosis mutualisme lah, Mbak,” ujarnya tersenyum.
Kondisi awal ketika Sari berjuang mendirikan sekolah pemulung


           Di awal-awal kepindahannya dan menemptai sebuah rumah di kawasan Kemang Pratama, Bekasi, Sari kerap menangis. Pasalnya, hatinya tiba-tiba kosong karena tak lagi bersentuhan dengan anak-anak miskin yang sebelumnya mengisi hari-harinya selama di Malang. Sari membujuk suami untuk membawanya berkeliling di kota Bekasi hanya untuk menemukan anak-anak jalanan yang ada di perapatan lampu-lampu lalu lintas kota Bekasi. 
Lokasi TPA Bantar Gebang
Betapa girangnya Sari ketika bisa menemukan mereka. Sari membagikan nasi bungkus dan sengaja meluangkan waktu untuk duduk bergabung bersama anak-anak jalanan dan para pengemis itu. Sementara, suami dan anak-anak Sari selalu memaklumi dan bahkan mendukung penuh semua niat mulia dan kegiatan kemanusiaannya. Dan, Sari sangat terampil membagi waktu serta hatinya antara keluarga dan kegiatan kemanusiaan yang digelutinya selama ini.

Perjuangan mendirikan sekolah sampah di Bantar Gebang, Bekasi.
            Januari 2007, Sari menemukan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sejak itulah, dia mulai gencar mendatangi bedeng-bedeng pemulung demi menawarkan sekolah/pendidikan kepada para orangtua dari anak-anak pemulung itu.
            Tak mulus perjuangan Sari dalam mengumpulkan anak-anak pemulung itu. Dari aroma busuk gunungan sampah, belatung-belatung yang kerap menempel di gamisnya, Sari sempat dicurigai, dicaci maki, bahkan diusir di sana. Tapi, Sari tak pernah menyerah, dia terus mendatangi para pemulung, merayu, memohon, dan membujuk anak-anak mereka untuk mau belajar. Bukan hanya itu, Sari juga berjuang membujuk kaum Bapak untuk mau mengikuti pengajian yang digelarnya secara kecil-kecilan di sebuah mushola, yang dipinjamnya dengan lagi-lagi dari menyisihkan uang belanja.

 
            Berkat kegigihan dan niat mulianya, Tuhan membukakan jalan dan akhirnya Sari mampu mengumpulkan 60 anak pemulung untuk diberi pendidikan awal. Namun, usahanya belum berjalan lancar. Berulangkali guru bantu yang direkrut, selalu mundur karena tak kuat dengan bau sampah yang menyengat.
Sari tak mau patah semangat. Akhirnya dia menemukan solusi dengan merekrut guru bantu dari warga setempat yang lebih akrab dengan aroma busuk sampah-sampah itu. Sejalan dengan perjuangannya itu, mulai berdatangan lah bantuan dari berbagai pihak, terutama teman-teman Sari yang ikut membantu keuangan demi berlanjutnya niat mulia ini.

Sari bersama para guru dan anak didiknya

Hingga saat ini, sekolah yang sudah terbentuk menjadi Yayasan Ummu Amanah itu, telah dilengkap dengan jenjang pendidikan mulai SD sampai SMA dengan berbasis kejar paket. Atas perjuangannya, Sari telah meraih penghargaan dari Gubernur Jawa barat sebagai Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan di Hari Ibu ke-81 tahun 2009 lalu.
Dari perbincangan yang memakan durasi lebih dari sejam itu, dada saya tak henti-hentinya menahan sesak akibat tekanan rasa kagum dan haru yang membaur luar biasa. Yang pasti, saya merasa tersentuh, terusik, dan tersentil. Di saat banyak orang bertarung untuk hidup, Sari telah menemukan makna dari hidup itu sendiri. Ketika banyak orang saling sikut demi memuaskan ego untuk meraih materi, Sari telah menemukan sisi mulia dengan tetap teguh berjalan di jalan kebenaran. Luar biasa! [Wylvera W.]

Note:
Telah dimuat di Majalah Insani (majalah Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia), edisi 19/TH VII/Desember 2012 

2 komentar:

  1. Dia telah memulai, apakah kita akan berdiam diri berpangku tangan? jawabannya ada dihati kita masing-masing

    Inspiratif

    Terima kasih telah membaginya, Wiwiek

    BalasHapus
  2. @Ayah Dian Kelana: Iya, berteman dengannya membuatku banyak belajar. Sayangnya, saat ini beliau sedang berkemas karena tgl 2 Januari 2013 mereka sekeluarga akan hijrah ke Paris. Dari sanalah dia kelak memantau semua aktivitas yang sudah diwakilkannya kepada orang-orang dekat yang dipercayanya. Untunglah aku sempat mengenalnya dan menyinggahi sekolah 'pemulung' miliknya.

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...