Senin, 06 Juli 2015

Susah Move On


 
Apartemen penuh kenangan (dokpri)

            Berbagi cerita dari pengalaman ber-Ramadan di negeri orang menguak lintasan kenangan yang indah untuk diurai. Sudah bertahun-tahun lamanya, saya masih saja sulit menepisnya. Apalagi kalau sudah berada di bulan Ramadan seperti ini. Masih terbayang-bayang. Susah move on gitu deh. Aaah ... biarlah.
Musim panas tahun itu terasa lebih panjang dibanding tahun sebelumnya. Saya nyalakan vacuum cleaner. Pagi itu saya siap membersihkan apartemen kami yang beralaskan karpet-karpet tebal, penuh dengan remah-remah pop corn. Efek dari anak-anak saya yang berpesta dengan camilan ringan semalamnya.      
Rasanya baru kemarin saya menginjakkan kaki di apartemen itu. Apartemen bernomor 1932 A di pemukiman pelajar (Orchard Down, Illinois) itu begitu menyatu dengan kami. Padahal saat itu, baru setahun kami merasakan hidup yang jauh dari tanah air. Empat musim yang kami lewati bersama memberikan nuansa yang silih berganti. Semua itu tentu saja tercatat rapi dalam bagian perjalanan hidup kami. Terutama bagi saya, sebagai ibu yang kerap bergelut dengan rentetan rutinitas rumah tangga di apartemen mungil itu.

Suasana sahur nak-anak yg bikin tersenyum saat mengingatnya (dokpri)
            Menjalankan ibadah puasa di negeri yang bukan berbasis Islam, tantangannya jauh lebih terasa bagi saya dan keluarga. Pertama, perbedaan rentang waktu antara subuh hingga maghrib lebih panjang dibandingkan dari Indonesia. Menahan rasa lapar dan haus lebih lama dari biasanya. Ditambah sisa udara Summer di awal-awal Ramadan yang kerap menyengat kulit, sungguh sebuah ujian kenikmatan yang tak ternilai. Namun, Insya Allah kami tetap bisa melewatinya dengan khusyuk dan khidmat.
Kedua, di saat orang lain dengan lahap menyantap pizza, spagetti, ice cream, dan jenis makanan yang merangsang selera, kami justru harus kuat untuk meyakini bahwa kami sedang berpuasa. Di saat jam-jam makan siang di sekolah. Anak-anak non muslim dari bangsa lain siap melahap hidangan menu  makan siangnya, anak-anak saya harus menahan diri hingga waktu berbuka.
Ketiga, kami juga selalu diuji oleh pemandangan yang serba-serbi di luar apartemen. Terlebih bagi suami saya. Karena musim panas belum benar-benar berakhir, membuat suami harus sering-sering beristighfar. Setiap kali pergi ke kampus, ada saja sosok yang berbusana sangat minim melintas di pandangannya. Hmm ... free country,” ujar suami saya bercanda waktu itu.
            Di samping deretan tantangan itu, tentu saja ada kenikmatan lain yang menjadikan kami tetap bersyukur. Kebersamaan sesama umat muslim Indonesia di pemukiman kami itu adalah bentuk kenikmtan lain. Lagi-lagi buat saya pribadi. Saya seolah tak merasa sedang hidup dan tinggal di negeri orang. Saling berbagi suka dan duka sudah bukan hal yang langka bagi kami sejak hijrah sementara di sana. Jika ada yang dirundung sakit, dengan sigap kami membesuk, membantu apa yang bisa dibantu untuk meringankan sakitnya. Sebisa mungkin, kami selalu saling membantu dan mendukung satu sama lain.

Pengajian rutin ibu-ibu Urbana - Savoy (dokpri)
            Khusus  di bulan Ramadan, ada hal yang membuat saya susah move on dari kenangan itu. Sebuah tanggungjawab yang diamanahkan kepada saya sebagai ketua pengajian ibu-ibu yang semuanya orang Indonesia. Sederhana mungkin, tapi bagi saya itu adalah kenikmatan yang sulit digambarkan dalam bentuk materi. Betapa tidak. Jauh dari lingkungan tetangga di Bekasi tempat tinggal saya, namun waktu dan kesempatan untuk berbagi dalam kebersamaan yang indah, tetap bisa saya dapatkan.


Tadarusan di apartemen saya yang selalu membuat rindu (dokpri)


Di awal-awal ketika saya diberi tanggungjawab sebagai ketua pengajian ibu-ibu muslim Indonesia, semua saya jalankan dengan biasa saja. Seperti memberi pengumuman jadwal pengajian serta membuka dan menutup majlis ta’lim setiap kali kami melaksanakan pengajian rutin. Sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Tapi kesempatan dan amanah yang diberikan kepada saya itu, menjadi momen indah dan penuh arti dalam episode hidup saya. Terlebih ketika kami bersama-sama menjadi penyedia hidangan berbuka di masjid Central Illinois Mosque and Islamic Center (CIMIC). Saya merasa diberi amanah dan kesempatan untuk belajar, mengkoordinir ibu-ibu dalam menentukan pembagian makanan yang akan disajikan di masjid itu.

Muslim Indonesia mendapat giliran menyajikan hidangan iftar (dokpri)
Menyediakan makanan berbuka untuk 350 orang umat muslim dari berbagai bangsa dan negara. Bagi saya ini suatu pengalaman yang mungkni saja tak bisa saya dapatkan di negara asal saya. Kebersamaan dari awal perencanaan menyusun menu, berbagi dengan ibu-ibu yang lain, sampai detik-detik akhir pelaksanaan iftar (buka puasa) itu berakhir dengan baik, sesuatu yang sangat menyenangkan, Subhanallah....
Banyak pelajaran dan ilmu yang bisa saya petik dari amanah yang saya emban itu. Saya bisa belajar bijaksana dalam menampung semua aspirasi dari teman-teman. Tidak  egois. Harus sabar dalam mendisukisan segala sesuatu yang berkaitan untuk kemaslahatan kami bersama. Bagi saya pribadi, ini merupakan kehormatan dan saya sangat berterimakasih. Saya rindu kebersamaan itu. Bahkan setelah bertahun-tahun kami terpisah jarak dan waktu.
Begitulah, kalau saja laman blog saya ini merupakan lembaran novel, rasanya saya ingin mengurai cerita lebih panjang lagi. Begitu banyak kenangan indah yang saya rasakan selama mendampingi suami melanjutkan sekolah di Urbana Illinois, USA itu. Dari pengalaman berharga itu, saya pun belajar untuk pandai membawa diri. Terutama tentang pelajaran bahwa dimanapun kita berada, hidup akan terasa selalu indah jika kita tak lalai untuk senantiasa bersyukur dan menikmatinya. Buktinya, saya susah move on dari kenangan itu. [Wylvera W.]


Note: Postingan pertama (FB)

16 komentar:

  1. Pengalamannya menarik sekali mba, Ramadhan jauh dari keluarga besar di negeri yang minoritas muslim..tentu jadi kenangan tersendiri ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sudah lebih dari lima tahun terlewati tapi tetap aja ngangeni pas bulan puasa begini. :)

      Hapus
  2. Betul mbak. Menjalankan Ramadhan di negara mayoritas non muslim mmg meninggalkan byk cerita dan kesan. Tantangannya itu. Kasihan anak2, yg masih belajar tp dihadapkan dgn kondisi yg penuh godaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, terkadang mereka nyaris menyerah dan pengin berbuka ketika pulang sekolah. Tapi, untunglah akhirnya bisa mulus sampai finishnya. :)

      Hapus
  3. Pengalaman yang menyenangkan ya, Mbak. Betul, di mana pun berada bila bersyukur dan menikmatinya akan terasa indah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mas. Itu yang terpenting ketika harus hidup merantau. :)

      Hapus
  4. kalo susah move on yang ini, ga pa-pa, kok mba Wiek ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... padahal sudah basiii banget kenangannya tapi tetap merindukannya. :)

      Hapus
  5. Bisa bayangin beratnya berpuasa di negeri orang dengan waktu lebih panjang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi kita berusaha menjalaninya dengan rasa syukur, Mbak. :)

      Hapus
  6. Justru kayanya di negeri orang terasa lebih syahdu dan nikmat puasanya. Temen2 yg sedikit itu saling support dan kehangatan kluarga terasa bgt. Di Indonesia malah makin menghilang kebersamaan kya gitu.. yg ga puasa dgn asyiknya n tanpa dosa mln di depan kita.... entah lah perasaanku aja x ya tp Ramadhan sekarang ini jauh beda dari yg dulu2

    Eh kok malah curhat :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, untuk kesyahduan dan nikmatnya memang lebih berasa ketika berada bersama teman-teman sebangsa. Perjuangan yang terasa itu jika kita berada di dekat mereka yang tidak menjalankannya ibadah serupa dengan kita.
      Entahlah, untuk Indonesia tercinta ini. Pelan-pelan semua seolah berubah dari yang semestinya. *ikutan curhat deh* :)

      Hapus
  7. Mba, wiek, ini pengalaman berharga ya, karena tentu sangat berbeda rasa dan nuansanya dengan di negeri ini.
    Senang membaca ini

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...