Minggu, 10 Maret 2013

Kedekatan itu Membuat Rindu



        Pagi itu (Kamis, 7 Maret 2013), saya dan IndahJulianti Sibarani, teman penulis, kembali berkunjung ke Yayasan Ummu Amanah, PKBM Al Falah, Bantar Gebang, Bekasi. Tempat itu merupakan sekolah yang didirikan pada tahun 2007 oleh seorang wanita berhati mulia (Wahyu Katri Ambar Wulan Sari) yang sempat saya kenal beberapa waktu lalu. Di sanalah Sari membuka kesempatan untuk anak-anak pemulung yang tinggal di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang itu.

 
Ini adalaha kunjungan saya yang ketiga kalinya. Kunjungan pertama saya lakukan untuk melakukan pendekatan dan perkenalan dengan Kepala Sekolah (Bapak Khoeruddin). Dalam pertemuan pertama itulah saya sampaikan niat untuk berbagi ilmu menulis kepada murid-murid di yayasan tersebut. Alhamdulillah, kegiatan pelatihan kini sudah berjalan dua bulan untuk dua kali pertemuan.
Di pelatihan pertama yang saya dan Indah berikan, kami masih melihat kecanggungan anak-anak pemulung itu. Namun, tak ada yang tak lumer jika disentuh dengan pendekatan cinta, layaknya seorang ibu. Kecanggungan itu tak berlangsung lama. Kami cepat sekali menyatu. Dan, itu yang membuat rindu untuk kembali.
Kedatangan kami untuk pelatihan kedua ini begitu memancing rasa haru. Rasa haru ketika saya merasakan kerinduan di mata mereka. Itu terlihat dari sikap mereka yang tak sabar ingin segera berkumpul dan kembali belajar tentang ilmu menulis. Salah satu anak terburu-buru menghampiri kami yang baru saja turun dari kendaraan.
“Bu, saya sudah buat PR!” serunya dengan semangat sambil menyalami dan mencium tangan saya dan Indah.
           “Wah, bagus! Nanti kita lihat ya,” balas saya tak kalah semangat.
“Saya punya sudah dikumpulkan juga, Bu,” seru anak yang lainnya tak mau kalah. Saya dan Indah tersenyum dan meminta mereka untuk bersabar menunggu masuk ke kelas.
Seperti biasa, sebelum masuk ke ruang pelatihan, kami lebih dulu diminta menunggu di ruang Kepala Sekolah untuk menanti persiapan kelas dan mengumpulkan anak-anak itu.
Tak lama, akhirnya kami didampingi kembali menuju kelas yang dipersiapkan. Anak-anak yang terdiri dari murid kelas IV, V, dan VI pun mulai memasuki kelas. Saya terus memandangi wajah mereka yang haus akan ilmu itu. Mereka begitu bersemangat mengangkat meja dan kursi  karena ada beberapa temannya yang tidak kebagian bangku.

Kali ini yang hadir tak sebanyak di pertemuan pertama yang mencapai 30 anak. Saya diam-diam menghitung. Ada enam anak yang tak hadir. Namun, ini tak membuat semangat di kelas luntur, justru saya melihat mereka menggebu-gebu menunggu saya dan Indah membuka pelatihan.
Saya pun membuka kelas pelatihan dengan menanyakan kabar mereka. Semua serentak menjawab, “Baiiik!” Jawaban itu memancing senyum dan haru di hati saya. Lalu saya dan Indah menanyakan PR yang kami berikan bulan lalu. Salah seorang guru menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang berisi cerita dari tulisan tangan mereka. Bukan...bukan hanya cerita, anak yang belum mampu menulis dengan baik tapi bisa menggambar tentu saja kertas PR nya berisi gambar yang seolah-olah bercerita tentang cita-cita. Ya, tugas yang kami berikan temanya adalah tentang cita-cita.
Seperti di pertemuan pertama, kali ini kami pun menyampaikan materi secara manual. Sebab di sana tak ada infokus dan laptop yang biasa kami gunakan dalam memberikan materi penulisan di tempat lain. Sederhana sekali, namun kami tetap menikmati suasana dengan hati yang bahagia. Semangat ingin menimba ilmu yang mereka tunjukan di sorot mata itu yang membuat saya dan Indah merasa haru dan kagum.


Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, anak-anak kami ini tetap bergairah untuk belajar bagaimana menjadi penulis yang baik. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan spontan dan terkesan polos serta lugu yang kerap menyelingi  suasana pelatihan.
“Bu, saya enggak bisa menulis . Boleh pakai gambar juga kan?”
“Kalau setengah saja ceritanya, trus pakai gambar boleh enggak, Bu?”
Kalau itu bukan di kelas dan di depan mereka, kami rasanya tak kuat menyembunyikan mata yang nyaris berkaca-kaca. Banyak yang membuat hati kami bolak-balik menekan rasa haru. Wajarlah, sebab murid-murid di PKBM Al Falah tak sama dengan sekolah umum yang ada.
Di sekolah ini, usia dan tingkat kelasnya juga beragam. Bukan berarti anak yang sudah berusia 7 tahuh harus duduk di kelas 1. Atau yang sudah berusia 12 tahun biasanya sudah bersiap untuk masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.  Dengan basis kejar paket A, B, dan C ini anak yang berusia 13 tahun bisa saja masih duduk di kelas IV. Bahkan siswa kelas 6 yang usianya sudah di atas 15 tahun masih belum lancar membaca dan menulis.  Namun, mereka selalu mendapat perhatian khusus dari guru-guru di sana.
Yang membuat kami bersemangat berbagi ilmu menulis di PKBM Al Falah ini adalah keantusiasan anak-anak tersebut. Keterbatasan yang ada pada diri mereka tidak menghalanginya untuk menimba ilumu. Mereka selalu menunjukkan minat yang tinggi.
“Bu, kalau nulisnya sudah banyak, nanti bisa jadi buku cerita kan?” tanya salah satu anak saat saya dekati ke mejanya. Pertanyaan itulah yang memicu semangat kami untuk tetap konsisten mengunjungi mereka setiap bulannya kelak.
Di pelatihan kali ini, kami kembali memberikan petunjuk lewat kata-kata yang telah kami susun untuk dirangkai menjadi kalimat dalam tulisan mereka. Namun, bagi anak yang belum lancar menulis, kami tetap memberi kesempatan kepada mereka untuk menggambar kata-kata yang tertera di papan tulis.
Betapa semangatnya mereka berlomba untuk menuntaskan tulisannya dalam waktu 20 menit yang kami berikan. Anak yang tulisannya lebih dari satu halaman, kami minta untuk maju ke depan dan membacakan karyanya. Ada yang malu-malu dan ada yang bersemangat.
Salah satu tulisan yang melebihi satu halaman adalah karya Eka Aulia.

Tulisan Eka Aulia
Dari semua tulisan dan gambar yang sudah dikerjakan, kami memilih tiga terbaik. Ketiga anak terpilih itu adalah anak-anak yang istimewa di kelas mereka, dan mereka ini pula yang selalu paling bersemangat mengikuti pelatihan menulis yang kami berikan.

Mengingat keterbatasan dan kekuatan mereka dalam menerima pelajaran baru, kami tak ingin mereka terlanjur merasa lelah. Dengan satu jam waktu yang terlewatkan, kami ingin terus menjaga kestabilan semangat mereka.
Sebelum menutup pelatihan kedua itu, kami kembali memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Lagi-lagi kami memberikan kata-kata kunci untuk mereka rangkai menjadi sebuah cerita. Jumlahnya kami tingkatkan menjadi sepuluh kata kunci.
Tepat pukul 11.10 WIB, kami pun mengakhiri kelas dan meminta mereka untuk berfoto bersama.


Sebelum meninggalkan kelas, mereka kembali bertanya.
“Bulan depan datang lagi kan, Bu?”
Insya Allah! Kami akan kembali untuk kalian anak-anakku. Berlatihlah terus, tetap bersemangat seperti apa yang sudah kalian tuangkan dalam tulisan kalian tentang cita-cita itu. Kami tak ingin melerai kedekatan ini demi cinta yang sudah terbina di antara kita. Kita akan bertemu bulan depan untuk kembali mengurai rindu.
Tunggu Bu Wiwiek dan Bu Indah bulan depan ya! []


2 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...