Rabu, 13 April 2016

Belajar dari Kematian dan Kemiskinan



 
            Kematian itu sesungguhnya misteri bagi manusia. Tidak ada seorang pun yang mampu memastikan kapan ia akan mati. Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu. Allah telah menetapkannya dan tercatat di Lauhul Mahfuz, jauh sebelum manusia diciptakan.

Allah berfirman yang artinya;
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.(QS. Al A’raf: 34)

            Setiap mendengar kabar tentang kematian, ayat ini terbayang-bayang di ingatan saya. Kali ini, saya benar-benar ingin menuliskannya.
 
Kabar duka itu
            Jum’at selepas magrib, kepala saya sakit. Namun, saya ingat kalau malam itu adalah jadwal pengganti liqo’ anak-anak saya (Mira dan Khalid) yang biasanya rutin di Senin malam. Sambil menunggu Pak Ustad datang, saya merebahkan badan di kamar. Begitu azan, saya pun sholat Isya. Sakit di kepala belum hilang sempurna.
            Tepat jam delapan, Pak Ustad datang bersama istrinya. Selama liqo’ berlangsung, saya dan istri Pak Ustad ngobrol di teras lantai atas. Sesekali saya melirik hape.
Innalillahi wainnailaihi raji’uun,” spontan saya berucap saat itu.

WA dari Mbak Sari (pemilik sekolah Al Falah)
Saya masih bingung membaca berita duka dari pemilik sekolah Al Falah Bantar Gebang yang saat ini masih berada di Paris. Ada keraguan membaca berita itu. Mengapa harus Mbak Sari yang kirim whatsapp ke saya? Mengapa bukan Pak Khoeruddin, kepala sekolah Al Falah? Bukankah paginya saya masih ngobrol dengan kepala sekolah saat mengajar ekskul di sekolah itu? Setelah membiarkan isi WA itu beberapa saat, barulah saya menjawab.
Ternyata benar, bahwa salah satu dari siswa di sekolah Al Falah - tempat saya biasa mengajar kelas menulis - telah berpulang. Kematiannya sangat tragis. Wahyudin menghembuskan napas seketika itu saat tubuh mungilnya dilindas truk sampah. Entah bagaimana rasanya perasaan saya membaca ulang berita itu. Pak Khoeruddin tidak sempat mengabari saya karena beliau sibuk mengurusi jenazah Wahyudin.

Berita berpulangnya Udin mengundang simpati teman-teman
            Malam itu, informasi tentang meninggalnya Wahyudin saya posting di wall facebook. Tidak ada niatan apa-apa. Saya hanya ingin berbagi tentang sebuah kematian. Takdir dan batas usia sesungguhnya hanya milik dan rahasia Allah. Hanya itu pesan tersirat yang ingin saya sampaikan. Namun, qadarullah … status saya mendapat respon dan simpati yang tak putus-putus dari teman-teman. 

            Alhamdulillah, doa dan dukungan semangat untuk almarhum Udin dan keluarga pun mengurai di kolom komentar. Bahkan beberapa teman turut memberikan bantuan (sumbangan uang) untuk keluarga almarhum. Ya Allah, saya sangat bersyukur dan berterima kasih (mewakili keluarga almarhum) atas respon yang tulus dari teman-teman saya.

Kemiskinan yang membuncahkan rasa empati
Saya tidak begitu mengenal Udin (begitu nama panggilan bocah 11 tahun itu), tapi ia pernah duduk menyimak bersama murid-murid lainnya saat ada acara yang digelar di aula terbuka PKBM AL Falah. Udin yang tertinggal dalam kemampuan membaca hingga ia harus mengulang di kelas 4, hanya bocah malang yang hidup dari hasil memulung orangtuanya. 
  Gang menuju rumah keluarga almarhum Udin
  

Meskipun saya tahu kalau jenazah Udin sudah dikebumikan jam empat pagi, saya tetap bergegas untuk melayat keesokan harinya. Saya ingin memberikan semangat kepada kedua orangtua almarhum. Apalagi saat itu, saya juga harus menyampaikan amanah dari teman-teman yang ikut memberikan sumbangan dana. 

Gubuk almarhum Udin
Begitu tiba di sekolah, saya dianjurkan untuk dibonceng oleh Bu Airina (salah satu guru Al Falah). Berangkatlah kami dengan sepeda motor ditemani guru lainnya. Rumah keluarga almarhum Udin dekat sekali dengan gunungan sampah. Di sanalah lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang sesungguhnya. Bisa dibayangkan, aroma yang harus dihirup penduduk di sana. Mereka tidak punya pilihan dan harus mengakrabi aroma tak sedap itu.

Orangtua angkat almarhum Udin
Kami pun sampai. Hati saya serasa diremas melihat kondisi tempat tinggal warga di sana. Jauh sekali dari kategori layak. Rumah-rumah yang berdempetan, didirikan dari sisa-sisa triplek dan kayu-kayu bekas, beratap seng ala kadarnya. Sangat memilukan. Di salah satu gubuk itulah (sebutan ini sepertinya lebih pas menurut saya), keluarga Udin tinggal selama belasan tahun. Miris hati ini.

“Kami bukan orangtua kandungnya”
            Setelah bertemu dengan keluarga almarhum, akhirnya saya sibuk sendiri mengolah hati. Semua rasa sedih dan tak tega, berbaur berdesakan memancing air mata. Sekuat tenaga saya bertahan agar tidak menangis. Tapi sia-sia. Kisah yang disampaikan Bapak si Udin akhirnya menjebolkan pertahan saya. Tidak bisa hanya sekadar menelan ludah. Nasib almarhum Udin membuat saya menangis. Bukan menyalahkan takdir Allah, tapi pilu saya menyimak kekuatannya bertahan tanpa mengeluh untuk tetap hidup.
Saya baru tahu kalau ternyata kedua orangtua yang duduk bersama kami itu bukanlah Ayah dan Ibu kandung Udin. Sejak usia 1,5 tahun, Bapak dan Ibu si Udin sudah berpisah. Bapaknya pergi entah ke mana dan tidak pernah menjenguk Udin semasa hidupnya. Sementara ibu kandungnya juga meninggalkan Udin tanpa pamit pada abang dan kakak ipar yang sejak itu menjadi orangtua Udin. Hingga saat meninggal, ibu kandung Udin pun tidak datang melihat anaknya. Sementara Bapak kandungnya datang saat Udin telah menjadi mayat.
Saat saya datang lagi, mereka sudah lebih iklhas (Ibu Udin di kanan saya)
            Bapak dan Emak angkat Udin itulah yang merawat dan membesarkannya. Mereka sangat menyayangi Udin seperti anak kandung sendiri. Udin menjadi anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya. Sementara lima anak mereka semuanya perempuan. Anak tertua sudah berumah tangga. Yang kedua menjadi guru TK honorer. Sementara, Udin dan tiga adiknya masih butuh biaya. Hidup serba kekurangan dengan enam anak yang harus dihidupi membuat Udin ikut membantu mencari uang. Tidak jauh-jauh dari profesi pemulung.
Sore itu, Udin begitu semangat ingin mengambil upahan seperti hari-hari sebelumnya. Ia membantu menarik terpal yang biasa digunakan untuk menutup tumpukan sampah di truk sampah. Tapi, naas … Udin terjatuh ke aspal. Belum sempat bangkit, truk sampah lebih dulu melindasnya. Innalillahi wainnailaihi raji’uun. Siapa yang mampu untuk sekadar menelan ludah menyimak kisah pilu Udin itu? Mata saya sempurna basah.

Pelajaran yang bisa saya ambil
            Merangkum semua kisah Wahyudin dan keluarga, membuat hati saya ingin menuliskan ini sebagai catatan. Pertama, kematian adalah mutlak rahasia Allah, maka teruslah mempersiapkan diri untuk menghadap dan mempertanggungjawabkan segala yang telah diperbuat kelak.
Kedua, hidup tidaklah semata-mata mengejar dan mengumpulkan harta untuk kesenangan dunia dan kepentingan diri semata. Sebab, masih banyak di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan dan bantuan. Di sekitar rumah keluarga Udin saja, masih ada puluhan keluarga yang hidup dari hasil memulung dengan kondisi tempat tinggal yang sangat tidak layak. Ini membuat saya sadar bahwa Allah telah mengingatkan dengan cara-Nya.
Ketiga, melihat secara langsung dan mendengar kisah kehidupan seperti keluarga Udin, membuat hati ini seolah ditegur oleh Pemiliknya. Seolah Dia ingin mengingatkan bahwa hidup itu harus seimbang, tidak lupa diri, tidak berbangga-bangga dan pongah pada harta yang dimiliki, tidak memandang hina pada ketiadaan orang lain, dan selalu bersyukur atas semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.
Semoga Udin sudah tenang di surga-Nya. Keluarga yang ditinggalkan pun telah kembali melanjutkan kehidupannya. Dan … saya bersyukur karena Allah SWT tak henti-hentinya mengingatkan diri ini. Semoga dengan cara-Nya, Allah terus menjaga hati ini untuk selalu istiqomah dalam tawadhu’. Aamiin Ya Rabb. [Wylvera W.]


15 komentar:

  1. Jadi belajar (lagi) dari kisah Udin ini, serta diingatkan pada kematian yang pasti mendatangi kita. Hanya saja entah kapan waktunya. Terima kasih, sudah menuliskannya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Mas Koko.

      Btw, kenapa aku selalu sulit BW ke blog Mas Koko ya?

      Hapus
  2. kita sering lupa... kematian itu dekat..

    BalasHapus
  3. Sedih baca ceritanya saat mba Wiek sharing di FB. Dan kini malah makin sedih bacanya, moga almarhum khusnul khotimah.

    BalasHapus
  4. Udin, inshaallah surga dekat denganmu ya Nak..

    Makasih sharingnya mbak, mengingatkan saya juga tentang kematian dan kehidupan ini..

    BalasHapus
  5. Huhuhu sedih, terbayang saat ke rumahnya dan mendengar cerita udin tenggorokan pasti rasanya tercekat ya mbak. Makasih atas pengingatnya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bolak-balik aku menelan ludah menahan agar gak ikut terisak. Iya, kita saling mengingatkan, Khalida

      Hapus
  6. Subhanallah...
    http://carainternet.com

    BalasHapus
  7. Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian.

    BalasHapus
  8. Turut berduka, semoga ditempatkan bersama para sholihin adeknya :)

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...