Senin, 13 Agustus 2012

Mata yang Tak Pernah Tua

              
       Selesai berdandan, aku tertegun memandangi tubuh yang muncul di depan cermin. Tak bisa berpura-pura, bayangan itu bukan wajah gadis berusia 17 tahun lagi. Polesan bedak dan lipstick hanya mampu menyamarkan dan sedikit memberi warna segar. Terpaan keringat dan udara di luar sana akan segera mengungkap warna aslinya, wajah perempuan yang hampir berkepala empat. Untung semangat dan jiwaku selalu merasa bahwa aku masih gadis belia yang mampu menepis teguran ketuaan itu. Aku jadi ingat lagi kejadian itu.
            Malam itu aku terusik dengan sosok perempuan muda, cantik, masih sangat segar dan bertubuh langsing tanpa lemak. Perempuan itu tak sadar bahwa aku terus memandanginya sementara dia khusyuk menatap suamiku. Pemandangan beberapa saat yang terjadi di depan mataku tentu saja memancing rasa ingin tahuku tentang sebuah kesetiaan dan cinta. Keyakinanku sempat terkacaukan dengan tampilan perempuan muda yang menawan itu. Aku saja terpukau dengan kemolekan wajah dan tubuhnya, maka pastilah banyak pria yang juga terpesona dengannya, tak terkecuali suamiku. Perasaan terpojok ini yang menggodaku untuk mempertanyakan sesuatu.
            “Apa kamu masih tetap mencintaiku jika aku tua, jelek dan sudah berkeriput nanti?” tanyaku mengagetkan suami. Pertanyaan itu sepertinya sedikit mengganggu suasana makan malam kami di sebuah restoran, di kawasan Kelapa Gading. Dia tak menjawab. Diamnya malah membuat keyakinanku semakin berkurang.
            “Apa kamu masih cinta padaku jika aku sudah tak muda lagi?” sekali lagi kuajukan pertanyaan itu.
            “Pertanyaanmu itu tak harus dijawab sekarang kan?” jawabnya dengan senyum. Gantian, aku yang diam. Memendam rasa tak puas. Tapi aku tak tahan juga. Jika tidak sekarang, kapan lagi aku akan mendapatkan jawabannya?
            “Kamu lihat perempuan cantik itu?” tanyaku menyelidik.
            “Yang mana?” katanya acuh tak acuh.
            “Yang duduk di depan kita ini. Dari tadi dia terus mencuri-curi pandang ke kamu. Kamu pura-pura enggak sadar ya?” kataku lagi sambil menyembunyikan rasa cemburu.
            “O…biarkan saja. Seharusnya kamu bangga kalau suamimu ini masih bisa menarik perhatian cewek secantik dia,” katanya bergurau yang sama sekali tak terdengar lucu buatku. Aku jadi malas meneruskan pembicaraan. Tidak bisa dibohongi suasana hatiku menyita  kegembiraan dan keindahan makan malam kami waktu itu. Tapi suamiku malah semakin lahap dan sepertinya tak terusik dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi. Apakah dia menikmati situasi ini? Diperhatikan oleh perempuan molek rupa seakan-akan membuatnya bertambah semangat menghabiskan sisa steak di piringnya. Kepalaku sudah penuh dengan berbagai dugaan yang bergabung dengan rasa tersaingi. Aku ingin segera kembali ke rumah dan mempertanyakan hal yang sama, apakah suamiku masih mencintaiku jika aku tak muda lagi?
            “Jadi nonton enggak?” kata suamiku menawarkan setelah makan malam berdua usai.
            “Enggak ah, sudah terlalu malam. Kasihan anak-anak ditinggal,” jawabku dengan alasan yang tak pas. Aku malas melanjutkan kebersamaan kami setelah kejadian tadi. Yang ada di benakku adalah rasa ingin segera sampai ke rumah, di kamar, dan mempertanyakan hal yang sama, tentang cinta.
            “Kan ada mama? Sekali-sekali berduaan begini, seperti waktu pacaran,” katanya sambil bercanda menepis alasanku.
            “Aku lagi enggak selera nonton. Pulang saja yuk,” jawabku masih tetap menyembunyikan rasa cemburu.
            “Enggak nyesel? Pemerannya aktor idolamu lo,” tawarnya lagi membujuk. Aku lihat poster yang berjajar di tembok menuju pintu bioskop. Benar, si Steven Seagal yang jadi pemeran utamanya. Tapi aku sudah kehilangan selera. Aku kembali menggeleng. Akhirnya suamiku menyerah dan kami memutuskan untuk pulang.
            Malam itu sudah jam 11, ketika kami sampai di rumah, anak-anak ternyata sudah tidur. Bagus! Pikirku. Ini akan mempercepat aku mendapat jawaban tentang pertanyaan di restoran tadi. Aku pun tak membuang-buang waktu.
            “Sekarang sudah bisa dijawab kan? Apa kamu masih tetap mencintaiku jika aku sudah  tua, keriput dan tak cantik lagi?” tanyaku bertubi-tubi. Dia merebahkan tubuhnya di atas pembaringan.
            “Kamu masih ingat, sepasang suami istri yang sudah tua renta, yang kita lihat saat kita berkunjung ke Bern?” katanya balik bertanya.
            “Ya, memang kenapa?” tanyaku belum paham.
            “Kamu ingat, waktu itu kamu bilang, seandainya kita bisa sampai setua itu menjalani kehidupan rumah tangga. Bahagia banget ya, ingat enggak?” katanya mengingatkanku. Aku cuma mengangguk pelan.
            “Terus kamu nanya lagi, suaminya masih kelihatan ganteng ya padahal sudah tua. Sementara istrinya tua banget dan sudah enggak bisa jalan, tapi suaminya begitu sabar menemani sambil mendorong kursi roda istrinya,” kata suamiku mengulang kenangan itu.
            “Lalu kamu ingat enggak aku jawab apa?” katanya lagi. Aku bertahan, diam.
            “Cinta mereka enggak dibatasi usia dan keriput di kulit, makanya bisa awet.”
            “Ya, tapi itu kan mereka, sementara kamu belum menjawab pertanyaanku,” kataku mulai tak sabar.
            “Itulah bedanya perempuan dengan laki-laki,” suamiku melanjutkan pendapatnya, tapi tetap tak sampai pada jawaban yang aku inginkan.
            “Maksudnya apa sih?” kataku mulai kesal.
            “Kalau aku bisa menyimpulkan, bahwa cinta si kakek-nenek itu tidak dibatasi oleh usia dan kekencangan permukaan kulit, seharusnya kamu paham bahwa aku juga ingin seperti mereka,” katanya diplomatis.
            “Kamu ingat enggak, apa hal pertama yang pernah kupuji tentang fisikmu?” tanyanya lagi. Aku pura-pura menggeleng, padahal aku ingat sekali kalau dia paling suka memuji mataku.
            “Kamu memang pelupa,” ujarnya membiarkan kenangan itu menghampiriku.
            “Oh, ya aku lupa,” kataku jadi malu.
        “Mana ada mata yang pernah tua sekalipun usiamu sudah 100 tahun. Apalagi kalau rasa cinta itu tempatnya di hati. Kayaknya nggak ada hati yang mengenal kata keriput ya?” katanya bercanda.
            Suamiku benar dengan mengatakan, perempuan selalu ingin dipuaskan dengan kata-kata untuk meyakinkan sesuatu yang diragukannya. Sementara, hanya sedikit laki-laki yang bisa membahasakan isi hatinya dengan kata-kata. “Tapi inilah perbedaan, dan istriku ingin aku mengatakannya berulang-ulang,” katanya dengan senyum mengembang. 
          Malam itu, meskipun aku sedikit tersindir dengan kritikannya tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun rasa tersanjung tak bisa kulenyapkan begitu saja. Cinta lewat mata yang telah membuatnya setia mendampingiku, Insya Allah tak akan menyurutkan keyakinanku lagi.
            Kupandangi sekali lagi wajahku di dalam cermin. Aku melihat bayangan seorang gadis muda yang masih segar berusia 17 tahun. Besok tak ada lagi bayangan wajah yang mulai dihinggapi garis ketuaan yang akan mengusikku di dalam cermin.
            “Jika kau mencintai seseorang dengan segenap jiwa, maka kau takkan pernah     mempersoalkan kulit yang membalut tubuhnya, sekalipun keriput itu telah sempurna   membungkus   raganya.”

Bekasi, April ‘09

Note :
Dimuat di majalah Insani, Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI), edisi 11/TH VI/April 2010

2 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...