Rabu, 20 Mei 2015

Perempuan dan Teknologi Informasi

(Bagian 2)
Bapak Bambang Kristiono (dari KPPPA) membuka sesi berikutnya (dokpri)

            Di bagian pertama dari judul “Perempuan dan Teknologi Informasi”, saya sudah membagi isi materi dari dua orang narasumber. Yang pertama Adiatmo Rahardi (Founder of the Largest Indonesia Robot Maker Community) dan Amalia E. Maulana, Ph.D., Brand Consultant dan Ethnographer (ETNOMARK Consulting). 
Inilah lanjutan catatan materi dari dua narasumber berikutnya.

Kebutuhan Konten Informasi bagi Perempuan
            Narasumber berikutnya adalah Julie Rostina, SKM, MKM (Dosen UIN Syarif Hidayatullah) dari Forum Peduli Anak Indonesia (FPAI). Beliau membahas tema tentang “Kebutuhan Konten Informasi bagi Perempuan”.  

Ibu Julie Rostinasaat memaparkan materinya (dokpri)

“Tahun 2012, kami pernah diminta oleh KPPPA untuk melakukan studi di 3 provinsi. DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat,” ujarnya mengawali pemaparan materi berdasarkann pengalaman tersebut.
            Julie Rostina mengatakan bahwa dari kajian yang mereka lakukan, ternyata di tiga wilayah kajian mereka, sebagian kaum perempuannya belum memahami apa itu “Teknologi Informasi”. Ini yang membuat mereka tertinggal, baik di pengetahuan tentang menangani masalah rumah tangga, kesehatan reproduksi, cara pengasuhan anak, serta informasi cara menyalurkan, mengembangkan bakat dan kemampuan mereka. Menurut catatan beliau, berdasarkan data UNESCO di tahun 2007, di negara-negara Asia Pasifik (termasuk Indonesia), selama 25 tahun terakhir, perempuan tertinggal tentang IPTEK dibandingkan laki-laki.
“Karena kurangnya informasi tentang pengetahuan, pendidikan di rumah secara tidak sengaja sudah mendikotomi anak perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, anak perempuan yang bermain mobil akan dianggap mirip anak laki-laki, sebaliknya, anak lak-laki yang bermain boneka akan dianggap seperti anak peremupan. Padahal kedua benda itu tidak memiliki kelamin. Jadi, secara tidak langsung kita sering melakukan dikotomi ini dan berefek pada pendekatan IPTEK. Yang berbau IPTEK berarti dekat dengan anak laki-laki,” ujar Julie memberikan contoh kesalahan pemahaman dalam pendampingan tumbuh kembang anak.
            Dari pemaparan yang disampaikan, saya mencoba merangkum beberapa poin penting. Salah satunya tentang dikotomi peran antara perempuan dan laki-laki. Dikotomi ini menjadi penyebab kesenjangan dalam mengakses informasi untuk memahami dan menyerap manfaat dan keuntungan dari teknologi. Di bagian terpenting inilah perempuan yang sudah melek teknologi mengambil peran agar bisa membuka peluang untuk menjadi jembatan penerus informasi tersebut bagi kaum perempuan yang masih tertinggal. Bagaimana informasi bisa dijadikan sebagai alat bantu yang efektif, agar perempuan bisa mengakses dan mendapat peluang demi meningkatkan kualitas dirinya? Melalui kajian ini, diharapkan tidak akan terputus pada satu diskusi saja.
            “Saat ini, teknologi tidak hanya menyentuh kalangan atas, namun juga kalangan bawah. Adapun yang melatarbelakanginya adalah beberapa kebutuhan yang meliputi kebutuhan fisik, kemanan, harga diri, dan aktualisasi diri,” tambah Julie Rostina lagi memberikan latar belakang tentang kebutuhan konten informasi bagi kaum perempuan.
            Menurut Julie (dan saya yakin kita sebagai perempuan juga menyetujuinya), bahwa perempuan memiliki multi peran (sebagai istri, ibu, manajer keuangan, guru, chef, psikolog, dokter, dsb). Inilah yang mendorong kaum perempuan harus melek IPTEK. Dan, berdasarkan multi peran kaum perempuan ini pula KPPPA melakukan kajian secara terus-menerus dengan tujuan untuk membantu meningkatkan statusnya.
Kendala seputar kondisi geografis, status sosial, dan taraf ekonomi, memang sangat berpengaruh pada tingkat kemampuan kaum perempuan untuk mengakses Teknologi Informasi. Inilah yang menjadi tugas kita sebagai perempuan (yang notabene lebih memiliki peluang lebih untuk memperoleh pengetahuan tersebut). Setidaknya, kita bisa membantu menyebarkan pengetahuan yang terkait dengan Teknologi Informasi kepada para perempuan yang membutuhkannya. Penyebaran itu tidak terbatas pada konten infromasi saja, namun lebih lanjut bisa melalui tindakan nyata seperti pendampingan hingga mereka bisa dilepas untuk melakukannya kelak secara mandiri.

Perempuan Harus Tanggap Teknologi
            Kebersamaan kami di forum diskusi ini akhirnya diakhiri oleh pemaparan materi yang singkat, padat, namun menjadi semacam rangkuman dari keseluruhan tujuan pertemuan di dua hari itu. Martha Simanjuntak (Founder dan mantan Ketua Umum Indonesian Woman Information Technology Awareness – IWITA). IWITA yang didirikan pada tanggal 9 April 2009, berkedudukan di Jakarta, memiliki daerah operasional di seluruh Indonesia, adalah organisasi perempuan Indonesia yang tanggap terhadap Teknologi Informasi.

Bu Martha dan slide awal materinya (dokpri)
         Perempuan cantik dan energik ini, mengajak perserta untuk berdiskusi dengan gaya pemaparannya yang renyah, lincah, dan kocak. Saya merasakan suasana semakin mencair begitu saja saat menyimak materi dari beliau. Beberapa hal yang sempat terekam oleh saya saat Martha menjelaskan tentang pentingnya Career Capital (semacam nilai kompetensi yang meliputi pengetahuan dan kepribadian seseorang dalam menghasilkan nilai ekonomi), khususnya bagi kaum perempuan.

(dokpri)

-          96% wanita Indonesia berpendapat bahwa career capital merupakan faktor penting untuk meraih kesuksesan.
“Jangan rendah diri jika Ibu hanya seorang ibu rumah tangga sebagai penggiat sosial dan blogger. Blogger itu karir, penggiat sosial itu karir,” tegas Martha meyakinkan. Martha juga memberi dukungan semangat dengan mengatakan bahwa perempuan penggiat sosial dan blogger dengan ragam keterampilan yang dimiliki, harus optimis untuk menghadapi masa depan dengan memanfaatkan teknologi (internet) demi meraih produktivitasnya.
-          62% wanita Indonesia menganggap bahwa etos keja dan efisiensi yang tinggi sebagai kontributor paling menentukan dalam kesuksesan pekerjaan dan kerja team.
“Temuan ini tidak terbatas pada kerja kantoran saja, tapi di ragam aktivitas perempuan,” ujarnya memberi penjelasan tambahan.
-          86% wanita Indonesia percaya bahwa memperluas jaringan pribadi dan keprofesionalan, dapat meningkatkan career capital.
“Sebagai contoh untuk temuan ini, blogger perempuan pencinta kuliner. Tentunya dia akan mencari network seperti tempat-tempat makan (restoran) yang sesuai dengan kebutuhan networkingnya,” jelas Martha memberi contoh.
Intinya, menurut Martha, segala aktivitas yang ingin kita lakukan, semua sudah tersedia informasinya di internet.
            Selanjutnya, Martha mengatakan bahwa fakta penting yang ditemukan; terdapat 42% wanita Indonesia lebih memilih bekerja di luar rumah, 50% beranggapan bahwa pengalaman lebih penting dari pada pendidikan. Sementara wanita karir di Indonesia, lebih berani dan percaya diri mengajukan promosi dibanding para wanita di Singapura dan Malaysia. Apa yang menyebabkannya? “Ini semua tidak lepas dari peran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Kuncinya, perempuan-perempuan Indonesia harus berani menghadapi tantangan, persaingan, dan rasa takut. Rasa takut mampu menguras kemampuan hingga 50%, dan sebaliknya jika mampu menaklukkan rasa takut maka kemampuan akan meningkat hingga 150%,” pungkasnya.
           
Sesi Berbagi sebagai Pelengkap Diskusi
            Di sesi akhir sebelum mengakhiri materinya, Martha menampilkan dua karakter manusia dalam menghadapi persoalan hidup di layar infokus. Di sana tertera dua bait kata-kata yang menggambarkan dua tipe karakter manusia. Pertama, menggambarkan tipe karakter gampang menyerah dan pasrah. Kedua, menggambarkan tipe karakter yang kuat, tahan terpaan badai kehidupan, dan optimis. 
 
Saya di sesi sharing (semoga sesuai dengan tipe karakter kedua ^^) - (foto: Ani Berta)
         Ketika Martha menawarkan kesempatan untuk berbagi, saya memberanikan diri tampil. Di kesempatan itulah untuk pertama kali saya berbagi cerita tentang kilas balik kisah hidup saya serta proses pembentukan kepercayaan diri hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Semoga pengalaman yang telah saya bagi mampu memberi inspirasi bagi semua peserta diksusi di ruangan itu.
           
Kesimpulan
            Dari dua bagian catatan yang telah saya bagi, intinya adalah mari bersama-sama kita raih kondisi dimana kaum perempuan Indonesia selalu tanggap terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi. Melalui kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), penerapan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat (implementation), serta mampu mensosialisasikannya (sosialization), kaum perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak hanya itu, kaum perempuan (para Ibu), mampu menciptakan generasi muda yang andal, kreatif, dan berprestasi. [Wylvera W.]
           
           
             

2 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...